Mohon tunggu...
TB PANDUTIRTAYASA HAKIM
TB PANDUTIRTAYASA HAKIM Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa

Saya adalah Salah satu Mahasiswa aktif Pascasarjana Di Universitas Mathla'ul Anwa Banten,Hoby saya liburan atau bisa di sebut traveling dan juga Menyukai otomotif atau di sebut juga modifikasi dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Evaluasi Sistem Eksekusi Hukuman Mati Dalam Hukum Pidana Nasional

22 Maret 2024   21:48 Diperbarui: 30 Maret 2024   12:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

EVALUASI SISTEM EKSEKUSI HUKUMAN MATI 

DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL

Oleh : Tb. Pandu Tirtayasa Hakim, S.H. [1]

MahasiswaMagister Ilmu Hukum, Universitas Mathla’ul Anwar[2]

Email :

pandutirtayasa97@gmail.com

 

Abstrak

Hak Asasi Manusia merupakan prinsip dasar yang menjadi pijakan bagi berbagai lembaga internasional, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk memastikan perlindungan hak-hak individu serta mendorong keadilan dan kemajuan sosial. Hak Asasi Manusia mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk hak-hak sipil dan politik seperti hak atas kebebasan berpendapat, hak atas keadilan yang adil, dan hak untuk beragama; hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak atas pekerjaan yang layak, akses terhadap pendidikan dan perumahan, dan hak atas standar hidup yang layak; serta hak-hak kolektif seperti hak untuk mempertahankan budaya dan identitas etnis. Salah satu hak yang dimiliki secara hakiki oleh setiap manusia adalah hak hidup (the right to life). Hak ini pula yang secara tegas tercantum dalam Deklarasi Internasioanal Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right). Dan bagaimana dengan Pidana Mati yang masih berlaku dan diterapakan di sistem hukum pidana nasional. Pada pasal 98 KUHP baru Indonesia atau Undang Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana menegaskan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Pertimbangan-pertimbangan yang harus dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 Undang Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, antara lain : Tidak dilaksanakannya pidana mati dimuka umum, penundaan eksekusi bagi wanita hamil atau orang yang sakit jiwa, tidak dilaksanakan pidana mati sebelum adanya penolakan Grasi dari Presiden. Sedangkan penundaan pelaksanaan pidana mati atau pidana mati bersayarat, yaitu apabila dalam masa percobaan selama sepuluh tahun terpidana menunjukan sikap terpuji, pidana mati itu dapat diubah menjadi penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu.

Kata Kunci : hak asasi manusia, evaluasi sistem, hukum pidana nasional

  

Abstract

Human Rights are the basic principles that form the basis for various international institutions, governments and civil society to ensure the protection of individual rights and promote justice and social progress. Human Rights cover various aspects of life, including civil and political rights such as the right to freedom of opinion, the right to fair justice, and the right to religion; economic, social and cultural rights such as the right to decent work, access to education and housing, and the right to an adequate standard of living; as well as collective rights such as the right to maintain cultural and ethnic identity. One of the rights that every human being has essentially is the right to life. This right is also expressly stated in the International Declaration of Human Rights. And what about the Death Penalty which is still valid and applied in the national criminal law system. In article 98 of the new Indonesian Criminal Code or Law no. 1 of 2023 concerning the Criminal Code emphasizes that "the alternative death penalty is imposed as a last resort to protect society". Considerations that must be made, as regulated in Article 99 of Law no. 1 of 2023 concerning the Criminal Code, including: Not carrying out the death penalty in public, postponing executions for pregnant women or mentally ill people, not carrying out the death penalty before the President refuses clemency. Meanwhile, the postponement of the implementation of the death penalty or capital punishment is conditional, namely that if during the ten year probation period the convict shows a commendable attitude, the death penalty can be changed to life imprisonment or temporary imprisonment.

 

Keywords: human rights, system evaluation, national criminal law

 

  • PENDAHULUAN

Evaluasi sistem eksekusi hukuman mati dalam hukum pidana nasional merupakan proses penilaian terhadap keefektifan, keadilan, kepatuhan terhadap standar hukum dan hak asasi manusia, serta dampak sosial dan moral dari praktik hukuman mati dalam suatu negara. Ini melibatkan analisis menyeluruh tentang bagaimana sistem tersebut diimplementasikan, termasuk prosedur hukum yang diterapkan dalam menghukum terpidana mati, penegakan hukum, dan pengaruhnya terhadap masyarakat. 

Pengertian evaluasi sistem eksekusi hukuman mati dalam hukum pidana nasional mencakup beberapa aspek, antara lain:

  • Keadilan Proses Hukum: Memeriksa apakah proses hukum yang digunakan dalam menentukan hukuman mati telah memenuhi prinsip-prinsip keadilan, termasuk hak terdakwa untuk pembelaan yang efektif, akses terhadap bukti yang memadai, dan kepatuhan terhadap standar hukum yang berlaku.
  • Efektivitas Hukuman Mati: Mengevaluasi apakah hukuman mati telah terbukti efektif sebagai alat untuk mencegah kejahatan. Ini mencakup pertimbangan atas apakah hukuman mati memberikan efek jera yang signifikan atau tidak.
  • Pengaruh Terhadap Masyarakat: Mengkaji dampak psikologis, sosial, dan ekonomi dari hukuman mati terhadap masyarakat, termasuk keluarga korban, keluarga terpidana, serta masyarakat luas.
  • Kepatuhan Terhadap Standar HAM: Menilai apakah pelaksanaan hukuman mati mematuhi standar hak asasi manusia internasional, termasuk hak atas hidup, larangan terhadap perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, serta hak atas peradilan yang adil.
  • Alternatif Hukuman: Mempertimbangkan apakah terdapat alternatif hukuman yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang dapat digunakan sebagai pengganti hukuman mati.
  • Reputasi dan Citra Internasional: Mengkaji implikasi dari keberadaan atau penghapusan hukuman mati terhadap reputasi dan citra internasional suatu negara di mata masyarakat internasional.

Pengertian evaluasi sistem eksekusi hukuman mati dalam hukum pidana nasional melibatkan analisis menyeluruh atas berbagai aspek yang relevan, dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang praktik hukuman mati dan potensinya dalam mencapai tujuan-tujuan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia

Kasus Pidana Mati yang sangat fenomenal dan populer di tahun 2023 adalah terdakwa Ferdi Sambo dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan vonis terhadap terdakwa Ferdi Sambo, yakni : “Terdakwa Ferdy Sambo S.H. S.I.K. M.H telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang dilakukan bersama-sama, Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati,”.

Bahwa Vonis Majelis Hakim lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yakni terdakwaFerdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa membacakan hal-hal yang dianggap memberatkan Ferdy, antara lain: perbuatan dilakukan kepadaajudan sendiri, perbuatan mengakibatkan luka yang mendalam kepada keluarga Yosua, perbuatan telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat. Pidana mati tentunya memicu perdebatan sendiri di kalangan masyarakat, para pegiat Hak Asasi Manusia tentu tidak setuju dengan pidana mati yang diberikan namun pihak keluarga Yosua pastinya mengucap syukurkepada majelis hakim yang telah mejatuhkan putusan tersebut.

Kuasa hukum terdakwa Ferdy Sambo melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI untuk menguji materi dan mengoreksi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 12 April 2023, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta : Singgih Budi Prakoso menguatkan vonis mati Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo, terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Ferdy Sambo tetap dijatuhi hukuman mati akibat melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua dengan Amar putusan : "Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 13 Februari 2023”, majelis hakim tidak sependapat dengan memori banding yang dilayangkan oleh kuasa hukum Ferdy Sambo. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meyakini, Fedy Sambo telah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana membunuh Yosua, Majelis Hakim menilai, hukuman pidana mati masih dibutuhkan di Tanah Air, Pidana mati masih dibutuhkan untuk shock therapy atau efek jera.

Para Terdakwa Pembunuhan yaitu : Ferdy Sambo dituntut hukuman pidana mati, Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara, Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara dan Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara, Richard Elizer dijatuhi vonis hukuman satu tahun enam bulan kurungan penjara. Para Terdakwa dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Khusus untuk Ferdy Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.3

Ada lagi vonis pidana mati yang sudah dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2020 kepada beberapa terdakwa seperti Kelvin dkk dan masih menjadi

polemik karena kuasa hukumnya tidak bisa dan lebih tepatnya tidak diperkenankan menghadirkan para saksi yang meringankan (a de charge) ke dalam persidangan bahkan ada beberapa saksi kunci tindak pidana pembunuhan berencana yang masih dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sampai sekarang.

Penerapan Pidana Mati pernah dilakukan uji materiil (judicial review) di Mahkamah Konstitusi dalam Undang-undang Nomor: 22Tahun 1997 tentang Narkotika, disatu pihak menunjukan eksistensi pidana mati di Indonesia semakin memiliki legalitas, di pihak lain putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadi causa celebre (pemicu) munculnya kembali polemik yang tidak akan pernah tuntas terkait pro dan kontra pidana mati di Indonesia (ada dissenting opinion) mengenai tetap dipertahankannya pidana mati dalam hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia.

Terdapat empat pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M.Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Alasan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati.: Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hak hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Beberapa Pegiat Hak Asasi Manusia terkait penerapan pidana mati di Indonesia bukan saja karena adanya putusan Mahkamah Konstutisi tanggal 20 Nopember 2007 yang menolak penghapusan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika. Reaksi yang sama muncul pula pada tahun 2003 ketika presiden Megawati menolak permohonan grasi dari enam orang terpidana mati. Reaksi yang tidak kalah sengit dan dibicarakan secara luas, ketika Kusni Kasdut dijatuhi hukuman mati dan permohonan grasinya ditolak presiden pada bulan Nopember 1979, para teroris bom bali dan Fredy Budiman juga akhirnya dihukum mati. Reaksi pegiat HAM

semakin kencang manakala amandemen ke dua UUD 1945 memberikan alas hukum konstitusional terhadap perlindungan HAM.

Inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.

Pasal 28 A Amandemen UUD 1945 : bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya, ada pendapat bahwa eksistensi pidana mati di Indonesia bertentangan dengan Pasal 28 A dan dianggap telah melanggar hak konstitusional dan merupakan tindakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah :“Setiap perbuatan seseorang atau sekelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku”

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah perbuatan yang secara sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan secara melawan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Menurut para pegiat Hak Asasi Manusia sifat melawan hukum dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah karena sudah melanggar hak hidup yang dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A jo Pasal 28 I Amandemen ke dua UUD 1945, dan dijadikan pemahaman bersama bahwa dalam memahami suatu peraturan tidak bisa hanya mengkaji pasal demi pasal secara terpisah, perlu diperhatikan ketentuan secara hirarki dan konprehensif.

Pada Pasal 28 J Amandemen kedua UUD 1945, pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar hak hidup seseorang memiliki pembatasan. Pasal 28 J ayat (2) bahwa :“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.  

serta nilai yang berlaku, pelaksanaan pidana mati sejalan dan dijamin oleh hukum dasar konstitusi. Pembatasan itu justru bermaksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, untuk memenuhi tuntuan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Sejarah hukuman mati pertama kali ditentukan oleh Raja Hamurrabi dalam Codex Hamurrabi dari Babilonia pada abad ke-19. Dalam Kovenan Internasional yaitu Declaration Universal of Human Rights (DUHAM) hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, sehingga tidak lagi diperbolehkan dan hukuman mati juga sudah usang, tidak memiki efek jera.

Tokoh-tokoh pada masa lalu yang kontra pidana mati antara lain Cesare Beccaria, Voltaire, Marat dan Robespiere, hingga penyair Jerman Lessing, Klopstoc, Moser dan Achiller. SedangkanMereka yang pro pidana mati dapat kita sebut beberapa tokoh seperti, Jonkers, Bichon Van Yuclmonde Ysselmonde, De Savornin Lohman, Rambonnet, Lombroso, Garovalo, serta Otto vonBismarck.

Jonkers mengatakan : alasan pidana mati tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan, bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan, sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan pada alasan-alasan yang rasional dan benar.

Lambroso dan Garovalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime). Hezewinkel Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat, pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada

setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakannya

Tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah.Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Cesare Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).

Indonesia merupakan negara yang mengakui eksistensi Hak Asasi Manusia, dalam Undang- undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga dalam perkembangan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 dari pasal 28A-28J yang pokoknya membahas tentang Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu Indonesia mempertegas pengakuan atas penegakan Hak Asasi Manusia dengan amanat TAP MPR NO XVII tahun 1998 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, pengakuan hak asasi manusia tidak mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hukuman mati masih digunakan dan diakui di Indonesia. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas mengatur tentang pidana mati sebagai pidana pokok. Pada Pasal 10 huruf a KUHP menyatakan, Pidana pokok terdiri dari : Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda, Pidana tutupan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melaporkan sepanjang tahun 2022 terdapat 132 kasus perkara hukuman atau pidana mati dengan 145 terdakwa. Sebanyak 123 perkara berkaitan dengan narkotika, sebanyak 122 terdakwa merupakan WNI, disusul dengan 1 terdakwa dari Sierra Leone, dan 1 terdakwa dari Afghanistan. Kemudian ada 21 terdakwa yang belum teridentifikasi. dalam webinar peluncuran Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2022, pada tanggal 12 April 2023. Riau dan Aceh menjadi daerah yang menghasilkan penuntutan atas pidana mati yang paling tinggi dengan masing masing sebanyak 34 penuntutan, putusan pidana mati yang berasal dari putusan tingkat pertama tertingi juga berasal dari Aceh dengan 21 putusan. Lalu untuk

putusan pidana mati dari putusan banding terbanyak kembali berasal dari Aceh dengan 17 putusan, Aceh juga menjadi yang tertinggi atas putusan pidana mati yang berasal dari putusan kasasi dengan 6 putusan.

Mengacu pada Undang-undang No. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pidana mati bahwa UU KUHP baru Indonesia ini sangat progresif dan sangat menjungjung tinggi hak hidup dan hak asasi manusia karena Pidana mati akan diancamkan secara alternatif bukan pokok dalam mengayomi masyarakat. Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam Tindak Pidana, bila terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup

Laporan terbaru dari World Economic Forum menyebutkan temuan bahwa fenomena brain drain, yaitu perginya kaum intelektual dan tenaga kerja berkecakapan tinggi dari suatu negara disebabkan oleh lingkungan yang korup dan tidak stabil serta kriminalitas yang tinggi Akibatnya, negara-negara dengan tingkat pidana kriminal dan korupsi yang tinggi kehilangan orang-orang yang sebenarnya mampu membangun ekonomi dan negara mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.

Jika melihat pada sejarah, pasal II Aturan Peralihan dalam UUD 1945 awalnya menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” Pasal ini memberikan justifikasi pemakaian undang-undang dari zaman Hindia Belanda dan Jepang, selama belum ada undang- undang yang baru dan secara khusus mengatur tentang masalah tertentu..

Ini semua tidak terlepas dari usaha pemerintah untuk melakukan pembaharuan hukum pidana substantif  (materiil),  hukum  acara  pidana  (formal),  dan  hukum  pelaksanaan  pidana

(strefvolletrechungegesetz). Suatu pembaharuan hukum pidana semestinya mengarah pada ketiga- tiga hukum pidana tersebut Pembaharuan menyeluruh memungkinkan terbentuknya suatu kerangka hukum nasional yang kokoh dalam mengabdi kepada kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga bentuk hukum ini saling terkait karena pada dasarnya mencerminkan penegakan hukum pidana ‘in abstracto’ yang diwujudkan dalam penegakan hukum ‘in concreto’. Ketiga hukum inilah yang harus digunakan untuk penanggulangan kejahatan dan meminimalkan tindak pidana.

Berbagai langkah di atas mencerminkan upaya untuk melengkapi hukum pidana Indonesia dengan berbagai upaya sanksi. Walau begitu, hal ini tidak terlepas dari bagaimana aparat hukum berperilaku dalam pemberantasan tindak pidana. Aparat hukum yang baik tentu sangat diinginkan sampai kebudayaan Indonesia mengenal istilah “Ratu Adil” atau Plato mengimpikan konsep “Raja yang Berfilsafat”.

Melihat fenomena akhir-akhir ini di negara Korea Utara yang banyak warganya melakukan bunuh diri karena faktor ekonomi dan kemiskinan, Pemimpinnya yaitu Kim Jong Un, menggambarkan bunuh diri sebagai "tindakan pengkhianatan terhadap sosialisme". Perintah tersebut juga menyatakan bahwa pejabat pemerintah daerah juga akan dimintai pertanggungjawaban karena gagal mencegah orang bunuh diri di wilayah yurisdiksi mereka, cara ini dianggap sebagai cara yang cocok untuk mengurangi tingkat bunuh diri yang semakin tinggi di Korea Utara, selain itu, orang yang melakukan tindakan bunuh diri dianggap sebagai orang yang pengkhianat terhadap bangsanya dan harus dihukum dengan cara yang keji.

  • Metode Penelitian

Kajian ini merupakan metode hukum normatif yang merupakan salah satu kajian ilmu hukum yang terkenal. Peneliti menerapkan metode hukum normatif dalam penelitiannya dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan hukum. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang  mengkaji seluruh ketentuan hukum yang relevan dengan subjek hukum yang diteliti. Penelitian dokumen (library study) merupakan teknik pengumpulan bahan-bahan hukum pendukung dan berkaitan dengan penyajian makalah penelitian ini. Kajian hukum baku hanya mengkaji bahan pustaka dan/atau bahan sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum wajib yang terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap bahan hukum primer, seperti literatur yang berkaitan dengan temuan penelitian, topik. belajar Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri atas: kamus hukum, kamus umum bahasa Indonesia, dan pedoman lain yang berkaitan dengan permasalahan  penelitian

  • Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan melawan hukum baik dengan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.21 Tujuan dari hukum pidana adalah melindungi masyarakat dan

mensejahterakan masyarakat, sama halnya dengan tujuan dari pembangunan.22 Sejalan dengan hal tersebut, maka di KUHP baru Indonesia menyatakan bahwa Pidana Mati adalah memiliki ancaman hukuman alternatif baik dikarenakan tindak pidana pembunuhan, narkotika, terorisme dan tindak pidana lainnya.

Suatu tindak pidana luar biasa merupakan tindak pidana yang mengandung karakteristik seperti dilakukan oleh penguasa untuk memanfaatkan hukum pidana itu sendiri secara sewenang-wenang Pidana Mati tergolong dalam kategori bersama dengan pencucian uang, penyalahgunaan narkotika, pelanggaran HAM berat, dan terorisme. Karenanya, pidana mati ini harus diatur secara khusus dengan mengarahkan hukum pidana bukan saja pada upaya pemidanaan, tetapi juga pada upaya pencegahan serta pembinaan.

  • Kesimpulan

Indonesia masih menerapkan pidana mati dari rezim Bung Karno sampai rezim Presiden Joko Widodo dan Inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitaspidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstitusional dan dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang jelas jelas menyatakan pidana mati adalah alternatif secara secara langsung dan tidak langsung tidak melanggar hak asasi manusia dan hak hidup.

Majelis hakim yang menangani perkara dengan ancaman pidana mati harus komprehensif melihat semua alat bukti dan fakta persidangan agar utuh dan koheren saat akan membuat amar putusan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Media Indonesia, 12 April 2023;

Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Sinar Grafika, Jakarta,2000; Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik;

A Sanusi Has, 1994:59;

Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Aksara baru, Jakarta, 1978; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:2-3/PUU-V/2007;

Pasal 183 KUHP yang berbunyi: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alatbukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “;

Hazewinkel Suringa, Inleiding Tot De Studie van het Nederlanf Strafrecht,H.D., T.W & Zoon N.V.Haarlem., 1968;

Cesare Beccaria, On Crimes and Punishments, Cambridge University Press, 1999;

Pasal 183 KUHP yang berbunyi: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alatbukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “;

Hazewinkel Suringa, Inleiding Tot De Studie van het Nederlanf Strafrecht,H.D., T.W & Zoon N.V.Haarlem., 1968;

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen;

Hendardi, B.K.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta: Jaringan Informasi Masyarakat, 1992, hal. 23;

Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana. Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana 1988/1989 – 1989/1990. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1991, hal. 15;

Harefa, B. Kapita Selekta Perlindungan Hukum bagi Anak. Jakarta: Deepublish, 2016, hal. 157;

Sutiyoso, B. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2006, hal. 13;

Ggwp.id;

Ibrahim, J. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2006;

Yesmil Anwar dan Adang. Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008, hal. 80;

jurnal.unmabanten.ac.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun