Mohon tunggu...
Pandu Adithama Wisnuputra
Pandu Adithama Wisnuputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Seorang penyuka sejarah, bahasa dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Stof en Rook (Bab III: Perjalanan ke Vaals (I))

28 Oktober 2024   17:47 Diperbarui: 28 Oktober 2024   17:53 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Akerstraat, Herlen circa 1920-1940. (Sumber: https://www.goltbeeck.eu/HEERLEN-Akerstraat-A41619)

Salju sudah mulai turun dengan lebat, hawa dingin yang menusuk tulang menyengat siapapun yang nekat melewati jalanan kota. Hanya sedikit orang-orang yang keluar rumah namun lampu-lampu di dalam masih masih menyala, menandakan para penghuni rumah masih beraktivitas, wajar saja karena ini masih jam sembilan malam.

Tidak ada pilihan lagi, aku harus pergi ke Vaals, sesuai dengan pesan Marlene. Masalahnya, dari Rotterdam ke Vaals sana butuh waktu lama, sekitar 200 km dari yang kuingat. Salju yang semula turun dengan jumlah kecil sekarang semakin lebat dan cepat. Musim dingin keparat! Kenapa saljunya semakin lebat? Jalanku berhenti ketika dari balik bangunan terdengar suara orang-orang berjalan. Aku langsung bersembunyi di balik tempat sampah dekat sebuah gang gelap dan menahan nafas selagi orang-orang tersebut pergi. Kuintip sedikit dari pinggir tempat sampah dan melihat lima orang, berseragam abu-abu sambil membawa bedil-bedil mereka di punggung dengan yang terlihat seperti pemimpinnya membawa sebuah pistol berukuran sedang. Terdengar juga suara gonggongan anjing kasar dan penuh curiga, berjalan mengikuti lima orang tersebut.

"Luitenant Eerkens doet verslag vanaf de Willembrug. Geen tekenen van verdachte activiteiten. Over." (Letnan Eerkens melaporkan dari dekat Jembatan Willem. Tidak ada tanda-tanda kegiatan yang mencurigakan. Ganti.) Ia berbicara melalui radio kecil yang ia genggam. Kelima orang tersebut jelas bukan orang-orang Zwijgende Jongens, karena dari yang aku sering dengar dari sesama mahasiswa, mereka biasanya menyamar menjadi penduduk biasa sehingga sulit mengetahui siapa yang benar-benar menyamar dan tidak.

Rambutku yang berwarna Lilac muda sedikit menutupi pandanganku sambil mengintip dari balik tempat sampah. Kanker! warna rambutku pasti terlihat mencolok sekali di antara orang-orang kalau tetap dibiarkan, padahal warna rambut alamiku. Aku berjalan perlahan keluar dari gang kecil tersebut dan melihat sebuah papan nama di seberang jalan. Seelen's Kapperszaak (tukang pangkas rambut Seelen), sempurna.

Kulihat sekitar jalan. Kali ini beberapa orang terlihat berlalu lalang, mungkin pengawasan polisi militer tidak terlalu ketat di sini. Hiasan Kerstmis berupa lampu-lampu penghias bagian-bagian depan bangunan yang gemerlap dan pohon-pohon indah yang sebenarnya terlihat di seluruh kota Rotterdam sejak aku dan Marlene turun dari stasiun, namun tidak sempat memedulikan hal tersebut. Pintu depan tempat pangkas rambut terbuka dengan iringan melodi lagu-lagu Kerstmis.  Seorang lelaki muda, mendatangiku. "Selamat datang juffrouw. Ada yang bisa kubantu?" Kujawab dengan ramah. "Iya. Tolong cat warna rambutku menjadi hitam pekat." Ia mengangguk dan menyuruhku untuk duduk di kursi.

......

Lama kemudian, sosok yang berada di depan cermin tempat pangkas rambut benar-benar tidak mirip denganku. Warna rambutku yang semula berwarna terang menjadi hitam legam, bagaikan sebuah danau yang tidak terlihat dasarnya, elegan dan juga berkilauan. "Terima kasih. Ini uangnya ya." Aku langsung membayar dan berjalan keluar. Kulihat sekeliling, dan orang-orang masih berlalu lalang.

Sekarang aku harus mencari cara agar dapat pergi ke Vaals, sialnya sekarang sudah hampir jam sepuluh malam, sebaiknya naik apa? Mungkin jadwal kereta hari ini masih ada? Aku langsung berlari menuju stasiun. Sama seperti sebelumnya, keadaan stasiun tidak terlalu banyak orang namun tidak sepi seperti saat turun disini. Di pinggir tembok stasiun terlihat jadwal kereta. Bagus! Ada satu kereta berangkat ke Heerlen satu jam lagi! Dompetku langsung langsung kuraih dari saku trench coatku dan segera berjalan menuju loket. Beberapa lama kemudian, aku segera menaiki gerbong kereta, berharap bisa selamat sebelum tiba di tujuan.

......

Peluit kereta bernada rendah terdengar dari kejauhan, diikuti oleh sebuah goncangan pelan, penanda kereta sudah mulai berjalan. Tidak seperti kereta sebelumnya, kali ini penumpang yang menaiki kereta terlihat lebih banyak, dengan beberapa orang masuk kedalam gerbong yang sama, namun nuansa tegang tetap terasa. Polisi militer berjaga di setiap sudut gerbong dengan menenteng bedilnya, dengan tatapan mengerikan bagaikan serigala yang siap menerkam bila melihat mangsanya. Kutarik arlojiku. Jam sepuluh lewat dua puluh malam, masih lama perjalanan menuju Heerlen.

Pada awalnya, aku berniat untuk membeli tiket kereta ke Maastricht, hoofsdstad provinsi Limburg, tapi aku sempat membaca dari koran bahwa keberadaan polisi militer di Maastricht cukup besar, mungkin karena sebagai kota besar dekat perbatasan, penjagaan harus diperketat, sedangkan Heerlen, setahuku adalah sebuah kota para pekerja tambang batu bara yang tidak terlalu berkembang, sehingga akan sedikit lebih aman bagiku. Lagipula, jarak dari Heerlen tidak terlalu jauh dari Vaals, hanya sekitar 17 km. Uggh, masih dua jam lagi, sebaiknya aku tidur saja. Sebelumnya, pistol telah ditaruh di dalam koperku seperti biasa. Kusenderkan kepala di pinggir jendela dan perlahan menutup mata.

......

Dok dok dok. "Juffrouw? Pemeriksaan identitas, buka pintunya sekarang." Terdengar suara dari balik kabin. Mataku perlahan terbuka, dan langsung merasa tegang. Gawat, apakah aku ketahuan? Sial! Petugas kereta bersama dua polisi militer masuk ke dalam kabin. Petugas kereta duduk di bangku seberangku. "Nona, tunjukkan surat-suratmu." Ia mengulurkan tangannya. Aku meraih koperku dan secara perlahan mengambil surat-suratku dan menyerahkannya ke petugas. Ia membaca surat-suratku, dan mengernyit. "Kenapa foto anda tidak sesuai dengan sekarang? Warna di foto ini jelas-jelas berwarna terang namun rambut anda berwarna hitam. Anda akan kami bawa ke gerbong belakang untuk diinterogasi. Soldats, bawa dia."

Kedua tentara meraih lenganku dan memaksaku berdiri. "Tidak perlu kasar begitu! Aku bisa sendiri!" Namun protesku tidak didengar dan kami keluar dari kabin. Sial, sekarang bagaimana? Kami berjalan melewati koridor, dengan dua bedil ditodong di belakangku, jelas sekali tidak ada kesempatan untuk pergi saat ini. Kereta perlahan mulai melambat dan akhirnya berhenti, terlihat pemandangan peron stasiun yang cukup besar. Station Heerlen? Aku sudah sampai? Berapa lama aku tertidur? Tiba-tiba seorang wanita tua, yang sepertinya tidak sadar kalau ada seseorang yang ditodong bedil berjalan melewati polisi, membuatnya goyah. "Hey! Verdomde oude oma! Kijk naar de rechtse!" (Hey! Nenek tua sialan! Lihat yang benar!) Teriak salah satu polisi, namun nenek itu tidak mendengar dan tetap membuka pintu gerbong dan turun dari kereta.

Dalam beberapa detik, kuambil kesempatan. Kepalaku menghantam dagu salah satu polisi, membuatnya teriak dan melepaskan bedilnya. Sebelum polisi lainnya bertindak, aku langsung memukul wajahnya dan membuatnya goyah. "Tering! Jij Teef!" (Kau jalang!), teriak polisi yang pertama kuhajar. Ia mendekat namun kuhajar dengan popor bedil hingga pingsan. Orang kedua mendekat, tapi kali ini terkena hantaman  Segera aku raih salah satu bedil dan menodong petugas kereta. "Tetap disini, kalau tidak.." Aku menodong tepat di dadanya. Ia terlihat sangat ketakutan dengan mata yang terbelalak serta keringat yang bercucuran, dan hanya bisa merintih di lantai. Tidak ingin membuang waktu lagi, aku keluar dari gerbong kereta berbekal bedil.

Pintu utama stasiun pasti dijaga, sebaiknya aku turun lewat ujung peron saja, pikirku. Aku langsung berlari ke arah ujung peron, melewati beberapa orang yang terkejut melihatku membawa bedil dan melompat ke pekarangan stasiun. Mereka sempat berteriak dan menarik perhatian polisi yang ikut mengejarku. Beberapa tembakan terdengar dari bedil mereka dan nyaris mengenai kakiku, untungnya aku berhasil lolos dari mereka. Kulewati pekarangan stasiun dan keluar melalui gang kecil. Kota Heerlen terlihat lebih sibuk dibandingkan Rotterdam, beberapa orang-orang terlihat berlalu-lalang dengan nuansa Kerstmis yang masih terlihat namun tidak terlalu banyak karena memang sudah sangat larut. Pemandangan kota Heerlen tidak terlalu banyak yang berbeda dengan kota-kota yang kulihat selama ini, arsitektur-arsitektur Belanda memang tidak terlalu bervariasi.

Perkiraanku mungkin benar, tentang di sini tidak terlalu mendapat ancaman dari pemerintah. Polisi masih terlihat, namun jumlahnya tidak banyak, dan itupun hanya beberapa orang yang menjaga beberapa akses masuk dan keluar kota, yang aku untungnya dapat menemukan jalan tersembunyi dan melewati penjagaan. Sialnya, Vaals masih jauh dari sini, tiga jam jalan kaki. Tidak ada pilihan, aku akan jalan. Sebelum berangkat, kulepaskan bedil dan menaruhnya di sudut bangunan yang gelap, agar tidak dicurigai membawa senjata di tengah malam begini.

Setelah berjalan cukup lama melewati kegelapan malam dan dinginnya salju, kakiku mulai sakit. Saat kulihat papan jalan di pinggir jalan, ternyata masih di Bocholz, sebuah desa kecil, satu jam lagi, namun kakiku sudah tidak kuat lagi, sebaiknya kucari penginapan yang masih buka.

......

Tidak banyak rumah yang lampunya masih menyala, dan rasanya tidak sopan untuk mengetuk pintu rumah yang pemiliknya pasti sudah tidur. Namun ada satu yang terlihat masih ada orang di dalamnya sehingga kudekati rumah itu. Pintu depan kuketuk. Aku tidak terlalu berharap bakal diterima menginap, tapi akan kucoba, jika tidak, bisa-bisa meninggal kedinginan di luar.

Pintu terbuka, dan kulihat seorang pria berambut pirang pendek, mungkin berumur sekitar 50-an dan mengenakan sebuah kacamata bulat tebal sedang membawa sebuah buku yang judulnya tertutup tangan. "Goedenacht, meneer. Maafkan ketidaksopananku mengetuk pintu semalam ini, tapi bolehkah aku menginap selama satu malam?" Aku bertanya dengan sopan. Ia melihatku yang terlihat menggigil meskipun memakai coat tebal dan tersenyum. "Tentu tidak masalah juffrouw, silahkan masuk. Saya sedang tidak bisa tidur sebelumnya dan mendengar ketukan di pintu." Ia mundur selangkah dan memperbolehkanku masuk. Kulepas coat milikku dan digantung di sebuah gantungan jaket, menyisakan sebuah kemeja hijau gelap dan celana krem.

Setelah melewati koridor pendek, kulihat sebuah ruang keluarga dengan berbagai perabotan kayu, meja kopi besar, lemari buku dengan isi yang beragam, satu sofa hijau tua, dan sebuah lampu gantung redup tapi terlihat indah untuk dipandang. Dinding yang dicat berwarna hijau tua memberikan kesan alami yang hangat. Ruangan tidak terasa dingin sama sekali mengingat adanya perapian batu bata di ujung ruangan. Panas kayu yang membara benar-benar memberikan kesan yang sangat nyaman.

"Silakan duduk juffrouw, saya akan buatkan teh." Pria tersebut meninggalkan ruangan dan menuju ruang dapur di samping ruang keluarga sementara aku duduk di sofa. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan sebuah nampan dengan dua cangkir dan sebuah teko. Ia menyeduhkan teh dan menawarkannya padaku. "Terima kasih, tuan, eh..." Kataku saat kuambil cangkir tersebut. Pria tersebut tersenyum. "Haha, maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Namaku Constantijn Agthoven. Pastor di gereja lokal dan seorang guru di sebuah sekolah dasar yang dikelola Gereja Katolik." Ia menawarkan tangannya dan kujabat dengan hangat. Ia terlihat memilki wibawa dan pengetahuan yang sangat tinggi, yang bisa kurasakan dari auranya.

"Senang berkenelan dengan anda meneer. Namaku Anneliese Jan Frederik, cukup panggil aku Anna. Mahasiswi Universitas Leiden." Kataku sambil tersenyum hangat. Ia terlihat sedikit kaget dengan ucapanku barusan. "Universitas Leiden? Lantas apa yang kau lakukan di sini? Kau juga tiba-tiba mengetuk pintu rumahku jam satu dini hari, sendirian pula." Aku mendesah sedikit sambil menaruh tangan di dahi. "Anda sendiri? Kenapa anda masih bangun?" Kutanya balik. Ia tertawa remeh. "Saya sedang tidak bisa tidur, jadi saya memutuskan untuk membaca buku hingga saya mengantuk, tadi sudah saya jelaskan."

Tiba-tiba, terdengar suara pintu koridor terbuka. Sebuah wajah mengintip dari balik pintu dengan wajah yang mengantuk namun juga penasaran. "Judith? Kau belum tidur sayang? Ini sudah sangat malam!" Ia berkata tegas pada muka tersebut. Muka tersebut menunjukkan dirinya, seorang perempuan muda berambut hitam, kelihatannya masih berumur empat belas atau lima belas namun ia terlihat cukup pendek ketimbang diriku, yang kalau tidak salah 169 cm. Ia berambut hitam lurus dengan panjang seleher. Sebagian rambutnya menutupi mata kirinya yang berwarna cokelat muda. Ia memakai gaun serba hitam, dengan sebuah guimpe putih, ala seorang biarawati. Ia berjalan pelan sambil menguap dan duduk di sebelahku. "Maaf bapa, aku tadi mendengar suaramu bicara dengan seseorang saat aku ke kamar kecil, dan aku penasaran." God Almatig, suaranya lembut sekali, mungkin ia punya hobi bernyanyi. "Hallo, juffrouw. Namaku Judith Theresia van de Kerk, senang bertemu denganmu." Senyumannya terlihat malu-malu, mungkin jarang bertemu dengan orang. Yang membuatku sedikit heran adalah, kenapa nama keluarganya berbeda?

"Senang bertemu denganmu juga. Judith." Aku memegang kepalanya, yang membuat ia tertawa kecil. "Mengenai alasanku di sini, mungkin saya bisa ceritakan besok pagi. Aku tidak masalah tidur di sofa ini, tidak ingin merepotkan anda." Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau berhak istirahat. Judith, tolong antar Anna ke ruang khusus tamu, mungkin bisa dibersihkan sebentar. Tidak apa-apa, kita bisa bicara besok pagi." Ia menunjuk ruang di ujung koridor, tepat di dekat pintu masuk. Judith mengangguk. "Oke bapa. Ayo juffrouw." Ia menarik tanganku dan mengantarkanku ke kamar. Setelah kami merapikan ruangan, Judith keluar dan menyapa selamat malam. Kubuka isi koperku dan mulai mengganti pakaian, setelahnya, aku langsung tidur di kasur setelah malam yang gila.

......

Suara berisik dari jam beker membuatku kaget dan nyaris shok, tapi membuatku bangun dari tidur. Kuraih jamnya dengan kondisi masih mengantuk: Pukul lima. Ya ampun, aku hanya tidur selama empat jam. Kuraih koperku dan mulai mencari pakaian yang pas. Aku tidak pernah suka pakaian wanita pada umumnya, terlihat terlalu berlebihan dan tidak pas di badanku. Kuraih baju yang kemarin kukenakan.

Di ruang keluarga, kulihat Domine Agthoven dan Judith sedang berbicara. "Goedemorgen meneer, Judith." Aku duduk di sebelah Judith yang sedang membaca buku, kelihatannya tentang obat-obatan. "Kau masih memakai baju yang sama dengan kemarin Judith?" Kutanya mengenai baju ala biarawatinya yang sama dengan kemarin malam. Ia terlihat mulai muram. "Aah, ini? Ini sebetulnya milik kakakku.. Tapi dia sudah meninggal." Hatiku terasa remuk mendengarnya, sungguh tak terduga. "Apa... apa yang terjadi?" Kutanya pelan. Tiba-tiba ia berdiri. "M... Maaf! Aku tidak tahan!" Ia lari keluar dari ruangan dan membanting pintu. "Judith! Apa-apaan kamu, nak!?" Teriaknya. Ia juga berdiri dan berniat mengejarnya, namun ia berhenti di pintu.

 "Hh... maafkan dia Anna. Dia masih trauma." Ia duduk kembali setelah menutup pintu. "Keluarganya, van der Kerk, memiliki sejarah yang sangat menarik. Mereka dulunya keluarga guru di Maastricht, dan saya merupakan kolega dari ayahnya, Cyriel. Orang yang baik, nasionalistis dan percaya akan kemurnian dan keagungan bangsa serta kebudayaan Eropa. Ia ditawarkan bekerja sebagai guru di Skotlandia oleh seorang teman, dan diberikan pula tiket perjalanannya, namun tiketnya hanya berlaku untuk tiga orang, yakni ia, istrinya Liselotte, dan kakak Judith, Eline, sehingga ia harus mengirimkan tiket baru ketika telah sampai di sana."

"Judith, tentunya sangat sebal ia ditinggal sendirian denganku, yang diminta menjaganya selama perjalanan. Ia langsung terpuruk ketika ia mendengar bahwa kapal yang dinaiki keluarganya menabrak sebuah kapal batu bara di Laut Utara. Dari yang selamat, tidak ada dari keluarga Judith..."

Aku mendengarkan, air mataku sedikit menetes dan membasahi pipi. "Mijn God... Tak kusangka akan setragis itu..." Kuusap mukaku. "Lalu bagaimana bajunya Eline bisa ia pakai sekarang..?" Ia tersenyum tipis dan melanjutkan. "Eline baru saja lulus dari Jeanne d'Arclyceum sebelum naik ke atas kapal. Ia memberikan beberapa pakaian lamanya yang sudah tidak muat lagi di tubuhnya. Semacam dorongan, kemungkinan Judith ingin mengikuti jejak kakaknya. Dan setelah keluarganya meninggal, saya merawatnya hingga sekarang, demi kebaikannya."

"Ia seorang bidadari." Suara lembut terdengar dari belakang, dengan wajah yang murung. "Ia senang membantu orang-orang dengan mengadakan kelas kecil, meskipun orangnya sedikit penggerutu dan pemurung. Dan ia... sudah berada di sisi Tuhan sekarang..." Judith mulai menangis lagi. Ia duduk di sebelahku dan memelukku erat, yang membuatku cukup kaget. Aku perlahan meerangkulnya dan memeluknya dengan erat. "Maafkan aku... Aku seharusnya tidak menangis di depan tamu..." Ia melepas pelukanku dan mengusap mukanya. "Tidak apa-apa. Aku dapat mengerti perasaanmu." Kataku dengan penuh empati. Setelah semua tenang, aku menjelaskan kepada meneer Agthoven dan Judith mengenai alasanku harus ke Vaals.

"Hmm.... Jadi kau termasuk dari orang-orang V.C., dan kamu ingin melawan pemerintah secara langsung dengan bertemu mereka. Saya hari ini tidak dapat mengantar anda ke sana, mengingat saya masih harus mengurus jemaat di desa. Tapi, Judith bisa mengantarmu, ia sedang libur sekolah dan dapat menemanimu sampai ke Vaals." Ia menunjuk pada Judith yang langsung tersenyum. "Tentu bapa. Aku akan mengantarnya ke sana, juga untuk membeli beberapa barang di sana, bolehkah?" ia mendesah tapi menganggukan kepala. "Kau ini, masih saja ingin membeli tanaman-tanaman herbal baru?" Judith mengangguk. "Iya, aku ingin mencoba racikan obat herbal baru yang aku baca di buku. Karena selain ilmu agama, aku juga mempelajari berbagai obat-obatan sederhana juffrouw." Ia menoleh kepadaku, anak ini ternyata menarik juga kepribadiannya.

Beberapa saat kemudian, aku dan Judith, setelah berkemas dan memakai coat, kami pamit kepada beliau dan mulai berjalan kaki. Matahari sudah mulai terbit, memulai hari yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun