Setelah melewati koridor pendek, kulihat sebuah ruang keluarga dengan berbagai perabotan kayu, meja kopi besar, lemari buku dengan isi yang beragam, satu sofa hijau tua, dan sebuah lampu gantung redup tapi terlihat indah untuk dipandang. Dinding yang dicat berwarna hijau tua memberikan kesan alami yang hangat. Ruangan tidak terasa dingin sama sekali mengingat adanya perapian batu bata di ujung ruangan. Panas kayu yang membara benar-benar memberikan kesan yang sangat nyaman.
"Silakan duduk juffrouw, saya akan buatkan teh." Pria tersebut meninggalkan ruangan dan menuju ruang dapur di samping ruang keluarga sementara aku duduk di sofa. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan sebuah nampan dengan dua cangkir dan sebuah teko. Ia menyeduhkan teh dan menawarkannya padaku. "Terima kasih, tuan, eh..." Kataku saat kuambil cangkir tersebut. Pria tersebut tersenyum. "Haha, maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Namaku Constantijn Agthoven. Pastor di gereja lokal dan seorang guru di sebuah sekolah dasar yang dikelola Gereja Katolik." Ia menawarkan tangannya dan kujabat dengan hangat. Ia terlihat memilki wibawa dan pengetahuan yang sangat tinggi, yang bisa kurasakan dari auranya.
"Senang berkenelan dengan anda meneer. Namaku Anneliese Jan Frederik, cukup panggil aku Anna. Mahasiswi Universitas Leiden." Kataku sambil tersenyum hangat. Ia terlihat sedikit kaget dengan ucapanku barusan. "Universitas Leiden? Lantas apa yang kau lakukan di sini? Kau juga tiba-tiba mengetuk pintu rumahku jam satu dini hari, sendirian pula." Aku mendesah sedikit sambil menaruh tangan di dahi. "Anda sendiri? Kenapa anda masih bangun?" Kutanya balik. Ia tertawa remeh. "Saya sedang tidak bisa tidur, jadi saya memutuskan untuk membaca buku hingga saya mengantuk, tadi sudah saya jelaskan."
Tiba-tiba, terdengar suara pintu koridor terbuka. Sebuah wajah mengintip dari balik pintu dengan wajah yang mengantuk namun juga penasaran. "Judith? Kau belum tidur sayang? Ini sudah sangat malam!" Ia berkata tegas pada muka tersebut. Muka tersebut menunjukkan dirinya, seorang perempuan muda berambut hitam, kelihatannya masih berumur empat belas atau lima belas namun ia terlihat cukup pendek ketimbang diriku, yang kalau tidak salah 169 cm. Ia berambut hitam lurus dengan panjang seleher. Sebagian rambutnya menutupi mata kirinya yang berwarna cokelat muda. Ia memakai gaun serba hitam, dengan sebuah guimpe putih, ala seorang biarawati. Ia berjalan pelan sambil menguap dan duduk di sebelahku. "Maaf bapa, aku tadi mendengar suaramu bicara dengan seseorang saat aku ke kamar kecil, dan aku penasaran." God Almatig, suaranya lembut sekali, mungkin ia punya hobi bernyanyi. "Hallo, juffrouw. Namaku Judith Theresia van de Kerk, senang bertemu denganmu." Senyumannya terlihat malu-malu, mungkin jarang bertemu dengan orang. Yang membuatku sedikit heran adalah, kenapa nama keluarganya berbeda?
"Senang bertemu denganmu juga. Judith." Aku memegang kepalanya, yang membuat ia tertawa kecil. "Mengenai alasanku di sini, mungkin saya bisa ceritakan besok pagi. Aku tidak masalah tidur di sofa ini, tidak ingin merepotkan anda." Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau berhak istirahat. Judith, tolong antar Anna ke ruang khusus tamu, mungkin bisa dibersihkan sebentar. Tidak apa-apa, kita bisa bicara besok pagi." Ia menunjuk ruang di ujung koridor, tepat di dekat pintu masuk. Judith mengangguk. "Oke bapa. Ayo juffrouw." Ia menarik tanganku dan mengantarkanku ke kamar. Setelah kami merapikan ruangan, Judith keluar dan menyapa selamat malam. Kubuka isi koperku dan mulai mengganti pakaian, setelahnya, aku langsung tidur di kasur setelah malam yang gila.
......
Suara berisik dari jam beker membuatku kaget dan nyaris shok, tapi membuatku bangun dari tidur. Kuraih jamnya dengan kondisi masih mengantuk: Pukul lima. Ya ampun, aku hanya tidur selama empat jam. Kuraih koperku dan mulai mencari pakaian yang pas. Aku tidak pernah suka pakaian wanita pada umumnya, terlihat terlalu berlebihan dan tidak pas di badanku. Kuraih baju yang kemarin kukenakan.
Di ruang keluarga, kulihat Domine Agthoven dan Judith sedang berbicara. "Goedemorgen meneer, Judith." Aku duduk di sebelah Judith yang sedang membaca buku, kelihatannya tentang obat-obatan. "Kau masih memakai baju yang sama dengan kemarin Judith?" Kutanya mengenai baju ala biarawatinya yang sama dengan kemarin malam. Ia terlihat mulai muram. "Aah, ini? Ini sebetulnya milik kakakku.. Tapi dia sudah meninggal." Hatiku terasa remuk mendengarnya, sungguh tak terduga. "Apa... apa yang terjadi?" Kutanya pelan. Tiba-tiba ia berdiri. "M... Maaf! Aku tidak tahan!" Ia lari keluar dari ruangan dan membanting pintu. "Judith! Apa-apaan kamu, nak!?" Teriaknya. Ia juga berdiri dan berniat mengejarnya, namun ia berhenti di pintu.
 "Hh... maafkan dia Anna. Dia masih trauma." Ia duduk kembali setelah menutup pintu. "Keluarganya, van der Kerk, memiliki sejarah yang sangat menarik. Mereka dulunya keluarga guru di Maastricht, dan saya merupakan kolega dari ayahnya, Cyriel. Orang yang baik, nasionalistis dan percaya akan kemurnian dan keagungan bangsa serta kebudayaan Eropa. Ia ditawarkan bekerja sebagai guru di Skotlandia oleh seorang teman, dan diberikan pula tiket perjalanannya, namun tiketnya hanya berlaku untuk tiga orang, yakni ia, istrinya Liselotte, dan kakak Judith, Eline, sehingga ia harus mengirimkan tiket baru ketika telah sampai di sana."
"Judith, tentunya sangat sebal ia ditinggal sendirian denganku, yang diminta menjaganya selama perjalanan. Ia langsung terpuruk ketika ia mendengar bahwa kapal yang dinaiki keluarganya menabrak sebuah kapal batu bara di Laut Utara. Dari yang selamat, tidak ada dari keluarga Judith..."
Aku mendengarkan, air mataku sedikit menetes dan membasahi pipi. "Mijn God... Tak kusangka akan setragis itu..." Kuusap mukaku. "Lalu bagaimana bajunya Eline bisa ia pakai sekarang..?" Ia tersenyum tipis dan melanjutkan. "Eline baru saja lulus dari Jeanne d'Arclyceum sebelum naik ke atas kapal. Ia memberikan beberapa pakaian lamanya yang sudah tidak muat lagi di tubuhnya. Semacam dorongan, kemungkinan Judith ingin mengikuti jejak kakaknya. Dan setelah keluarganya meninggal, saya merawatnya hingga sekarang, demi kebaikannya."