Mohon tunggu...
Panca Nur Ilahi
Panca Nur Ilahi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Rebahan

Limpahkan pemikiran dengan sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Martabak

3 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 3 Januari 2021   17:21 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memasuki bulan Desember cuaca Jakarta menjadi tidak menentu, cerah di pagi hari dan hujan di sore hari, begitu pula sebaliknya di hari-hari lain. Ibu ku pernah bilang "Kalo sudah masuk bulan yang berakhiran ber, ber, ber tandanya sudah memasuki musim hujan" aku kira mitos itu sudah tidak berlaku di zaman modern ini, ternyata hal itu masih terjadi. 

Hari ini cukup melelahkan dengan tumpukan kerjaan yang harus aku selesaikan, merasa sudah penat aku tinggalkan meja kerjaku. Aku berjalan keluar mencari udara segar, terlihat awan sudah menutupi matahari.

Angin bertiup cukup kencang hingga membuat dahan pohon menunduk kebawah. Beberapa orang berjalan dengan cepat agar bisa ke tempat tujuan dan tidak kebasahan. Sedang asyiknya melihat suasana mendung Jakarta,  tiba-tiba aku merasa ada yang menepuk pundakku dari belakang. 

"Heh ngapain lu ndu ngeliatin langit mendung?" aku terkejut dan langsung menoleh. 

"Astagfirullah Putriii, gue kira lu pak Agus bikin gue kaget aja lu." Pak Agus merupakan Manajer kami yang cukup tegas, aku melihat Putri tersenyum puas.  

"Hahaha Sorry, lagian gue perhatiin lu ngeliatin awan mendung fokus banget, kaya orang galau gitu. Gak usah sok kaya drama Korea deh." Putri meledekku.  

"Gue suka aja suasana mendung gini, perasaan jadi tenang. Rasa lelah juga berkurang terbawa angin sepoy-sepoy." Sambil melebarkan tanganku dan tersenyum lepas ku tunjukan kepada Putri bahwa mendung tak melulu tentang galau. 

Putri mengikuti "Hah... iya adem banget yak, ketek gue terasa ada anginnya."

"Haduh bukan itu maksud gue put, coba lu resapi suasananya." Putri terdiam.

"Gue inget banget dulu waktu kecil kalo udah mendung gini pasti gue lari-larian di lapangan dekat rumah, buat nunggu mandi hujan." Momen itu terputar kembali di ingatanku. 

"Dulu mandi hujan sama temen-temen aja udah seneng banget, kalo sekarang gue mandi hujan pasti diketawain orang, lu gitu juga gak put?" aku melihat putri memejamkan mata. 

"Put.. put.. Putri! Lu dengerin gue gak si?" Putri tersadar. 

"Oh ya. Lu ngomong apa?" "Aduh put capek deh, dari tadi lu gk dengerin gua ya!"

Putri terlihat bingung, "Kan tadi lu bilang coba resapi suasananya, makanya gua diem aja."

Lelah dengan putri yang terkadang telat mikir aku mengajaknya untuk siap-siap pulang. 

"Yaudah kita masuk aja, udah jam pulang kantor nih, yuk." Aku dan Putri bergegas masuk ke dalam untuk bersiap pulang. 

Benar saja setelah kami masuk, hujan mulai turun, ditambah petir dan angin kencang aku pikir hujan akan turun cukup lama. Untungnya aku sudah bersiap dengan payung yang aku bawa dari rumah, aku selalu mengingat kata-kata itu dari ibuku "Kalau sudah masuk musim hujan jangan lupa bawa payung, sedia payung sebelum hujan, biar gak kebasahan pas di jalan."  

Menggunakan payung aku berjalan mengarah ke Halte Trans Jakarta, bus yang akan aku naiki ternyata sudah ada di halte. Masuk ke dalam bus Trans Jakarta aku duduk di belakang dekat jendela, entah mengapa aku merasa terselamatkan dengan menjalankan pesan yang ibu berikan. 

Ibuku cukup perhatian dengan hal-hal kecil yang suka terlewat oleh anak-anaknya. Begitupun juga ke kakak-kakakku mereka selalu diingatkan agar selalu teliti dan tidak terburu-buru. Bisa dibilang keluargaku merupakan keluarga yang cukup besar. Aku merupakan anak terakhir dari 6 saudara. 

Bapak dan Ibuku merawat dan membesarkan enam orang anak dengan penuh perjuangan, karena kami bukan keluarga yang kaya raya atau keluarga yang sukses seperti Gen Halilintar. Bisa dibilang kami merupakan keluarga yang berkecukupan, ketika lapar cukup makan dengan apa yang ada di dapur, ketika mau tidur kami cukup dengan satu kasur bersama, bahkan ketika harus membeli makanan mewah kami cukup dengan berbagi. 

Aku ingat sekali sekitar 10 tahun yang lalu, pada saat itu keluarga ku sedang berada di ekonomi yang tidak stabil, jadi keluarga ku harus berhemat bahkan irit dengan segala hal, makanan pinggir jalan saja sudah termasuk barang mewah buat kami. Sudah menjadi kebiasaan bagi aku dan kakakku menunggu bapaku pulang, biasanya kami bermain tebak-tebakan makanan apa yang akan di bawa bapak setiap pulang. 

Itu juga yang membuat kegaduhan di rumahku waktu itu kami menonton TV menunggu Bapak pulang agar tidak ketiduran dan tidak kehabisan makanan yang dibawa sama bapak. Makanan favorit kami yaitu martabak, entah itu martabak manis atau asin pasti selalu habis tanpa sisa. 

Malam ini kami menebak bahwa bapak akan membawa martabak manis coklat keju karena kemarin malam bapak tidak membawa apa-apa. 

Mbak Nisa kakak tertua ku selalu bilang untuk membagi makanan sama rata agar tidak ada yang merasa iri. "Nanti kalau bapak pulang bawa martabak jangan rebutan ya."

Mbak Icha kaka kedua ku menyaut, "Iya jangan kaya lomba Tujuh Belas Agustus, main cepet-cepetan abis duluan." 

Aku menjawab, "Pasti aku selalu kalah kalo udah kaya lomba gitu, potongannya juga paling kecil." Mas Agus, "Lagian kamu lelet dek,  jadi gk kebagian yang gede hahaha." 

"Makanya ngalah dong sama yang kecil." aku menimpali Mas Agus abang ku nomer 4. 

"Emang harus gitu kali yang kecil dapet paling kecil." Mas Iksan  yang tak mau kalah ikut mendukung Mas Agus. 

"Udah deh belom ada makanannya aja udah berantem, kamu juga San, Pandu kan sama kamu beda umurnya cuma tiga tahun harusnya bisa ngertiin Pandu." Mbak Sri menengahi kami. 

Obrolan anak-anak yang menunggu makanan itu mulai hening dan suara salam dari arah pintu terdengar, "Assalamualaikum.." Suara bapak memberi salam. 

"Walaikumsalam, Bapak pulangggg!" Mas Iksan teriak. 

Sambil berlari Mas Iksan menghampiri Bapak, di ikuti dengan Mas Agus dan Mbak Icha. Tidak tinggal diam aku ikut bangun dan menghampiri Bapak. Mbak Nisa dan Mbak Sri hanya menunggu. "Yeay Bapak pulang bawa apa pak?" aku menanyakan bungkusan yang bapak bawa. 

"Nih ambil aja." saut Bapakku. "Asik baunya martabak." Mas Iksan mengambil bungkusan itu dengan cepatnya. 

Benar saja tebakan kami bahwa Bapak akan membawa martabak kesukaan anak-anaknya. Ibu ku melihat kelakuan kami sambil berkata "Kalian ini udah kaya anak burung yang nunggu di sarang buat di kasih makan." sambil tersenyum ibu ku melihat kami yang senang dengan sebungkus martabak itu. Kalau sudah begitu rumah menjadi sangat ramai dan hangat. 

Aku merasa hal-hal itu baru saja terjadi kemarin, namun faktanya sekarang kami sudah tumbuh dewasa, Mbak Nisa, Icha, dan Sri sudah menikah dan tinggal dengan keluarga kecilnya. Sedangkan Mas Agus dan Mas Iksan mengambil pekerjaan di luar kota. Aku melihat kaca jendela bus yang sedang macet karena hujan, lampu jalan Jakarta sangat bagus ketika malam. 

Rasa rindu itu muncul di benakku, aku harap mereka baik-baik saja saat ini. Sedang asyiknya melihat pemandangan malam ibu kota, tiba-tiba ada orang yang duduk disampingku dan berkata, "Udah kaya drama Korea aja nyenderin kepala di jendela bus sambil galau."

Aku mengenal suara ini,  pasti ini Putri. "Put lu kok bisa di sini, perasaan tadi masih di kantor." dengan semangatnya putri menjawab, "Iya tadi gua lari dari kantor ke luar terus buru-buru ke halte Trans Jakarta, emang gue beruntung banget busnya masih nunggu gue." Aku hanya menjawab dengan "Ohh." 

"Oh doang lagi lu, Oppa! lu kenapa si lagi galau ya kayaknya hari ini gak semangat gitu?" dengan suara kerasnya putri membuat semua orang di bus melihat kami berdua. "Sssttt... Put suara lu kecilin! Liat tuh pada ngeliatin, kayaknya lu harus kurang-kurangin nonton DRAKOR deh." Aku berbisik ke Putri. 

"Ih biarin aja si kita kan selebgram jadi diliatin." Putri mulai ngelantur. "Put jangan gitu malu tau." Putri hanya tertawa, "Jadi lu kenapa kok gk semangat gitu?" 

"Gapapa, gue kurang tidur aja." Aku harap Putri bisa paham dan tidak bertanya lagi, "Oh oke deh, tidur aja sekarang hehe." "hemm" aku menjawab dengan malas. 

Puti mulai terdiam, hujan di luar juga mulai reda dengan rintik-rintik yang masih tertinggal. Aku melihat ke arah Putri, ternyata dia sudah tertidur dengan headset di kupingnya. Beberapa halte sudah ku lewati, aku mulai sampai di halte tujuanku.

Aku membangunkan Putri untuk salam perpisahan, sambil membuka headsetnya aku berucap pada Putri "Put gua duluan ya." Putri hanya membuka sedikit matanya "Hah iya iya duluan, gue mau tidur." aku meninggalkan Putri yang masih setengah sadar. 

Keluar dari Halte Trans Jakarta aku merasa lapar, aku baru ingat tadi siang adalah makanan terakhir yang aku makan. Aku berniat mencari makan, namun karena hujan dan sudah malam aku hanya melihat penjual martabak di depan supermarket. "Oke deh martabak aja. Kayaknya cukup kenyang." aku bergumam dalam hati. Setelah sampai di depan pintu rumah aku mengambil kunci dari tas dan membuka pintu. 

"Assalamualaikum" tiba-tiba aku melihat Mas Agus dan Mas Iksan menghampiri ku, "Wahhh... martabak ya asik." Aku terdiam dan melihat Mbak Nisa, Icha, dan Sri di ruang TV sambil tersenyum. Aku melangkah ke ruang TV dan menaruh martabak itu di meja depan TV lalu masuk ke kamar.

Aku senang semua ada di rumah, aku harap Ibu dan Bapak juga ikut pulang dan menemuiku. Setelah Bapak pensiun, Ibu dan Bapak memutuskan untuk tinggal di kampung. Mas Agus dan Mas Iksan bekerja di luar kota yang dekat dengan rumah Ibu dan Bapak. Setelah membersihkan diri aku keluar kamar. 

Aku menuju ruang TV, terlihat martabak itu belum ada yang menyentuh dan ruangan TV kosong. Aku menyalakan TV, sambil memanggil yang lain "Mas.. Mbak ayo makan martabak bareng, Nanti aku habisin sendiri nih martabaknya." Tak ada jawaban. Aku memutuskan untuk memakan martabak itu duluan, ketika memasukan martabak itu ke mulut ku. Aku merasa rasa yang selama ini hilang dari diriku, aku menelan potongan martabak pertama ku. 

Aku melihat ke arah meja, terlihat Mas Iksan yang tak mau kalah soal martabak mengambil potongan besar, Mas Agus dan Mbak Sri yang berebut potongan lain, Mbak Nisa dan Mbak Icha yang sibuk memisahkan martabak untuk Ibu dan Bapak. Aku tersenyum, melihat pemandangan ini. Rumah terasa hangat, seperti perpindahan musim hujan ke musim panas. 

Aku memakan potongan kedua dan anehnya mereka mulai menghilang, aku langsung heran "Mbak Nisa sama Mbak Icha kemana?" aku menengok ke Mas Agus dan Mbak Sri, namun mereka juga sudah tidak ada. "Mas Iksan mereka kemana?" belum habis aku berucap Mas Iksan sudah tidak terlihat. Air mata tergenang di mataku.

Aku melihat sekeliling, ternyata hanya ada aku di ruangan ini. Mencoba mengecek potongan martabak,  ternyata benar hanya ada dua potongan yang kosong. Ruangan ini menjadi sunyi kembali, hanya ada suara TV yang terdengar. Aku terduduk lemas di sofa dan mulai menenangkan diri. 

Aku tersadar ternyata itu hanya halusinasiku saja, martabak ini membuat ku bernostalgia kembali ke momen dimana aku dan keluarga masih berkumpul bersama satu rumah. Walau saat itu terasa sulit namun sangat bahagia karena kami melalui kesulitan itu dengan bersama-sama. Keadaan saat ini sudah sangat baik dari pada waktu kami masih kecil, namun aku merasa ada yang hilang dari hidupku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun