Mohon tunggu...
Sri Harjanto Adi Pamungkas
Sri Harjanto Adi Pamungkas Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Dosen (CPNS) di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia

Saya adalah seorang penulis yang mendalami isu seputar Kebijakan Publik, Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. Saya menamatkan studi sarjana dan magister di bidang Manajemen & Kebijakan Publik. Tulisan-tulisan saya telah banyak tersebar dalam berbagai bentuk mulai dari artikel kontributor untuk buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah pendek, artikel populer hingga artikel media massa. Selain hobi menulis, saya juga hobi berolahraga (badminton, sepakbola dan lari).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggagas Strategic Smart Blueprint Indonesia dalam Pusaran Konflik Multidimensional Laut China Selatan

31 Mei 2024   05:40 Diperbarui: 31 Mei 2024   06:03 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Frank Ramspott di Unsplash

Setelah menikmati periode dekade yang stabil dari 2010-2019, dunia menghadapi dekade penuh gejolak yang eksponensial dan berdampak multidimensional pada dekade ini. Gejolak dimulai dari pandemi COVID-19 yang merembet menjadi resesi ekonomi global yang kemudian dilanjutkan krisis geopolitik multi-episentrum. 

Berbagai studi telah memprediksi bahwa ada dua hotspot yang berpotensi menjadi episentrum krisis geopolitik ke depannya yaitu Laut China Timur (LCT) dan Laut China Selatan (LCS) (Jiang, 2019; Kalimuddin dan Anderson, 2018; Nie, 2016; Nguyen, 2016; Severino, 2010). LCT menjadi hotspot karena ada persinggungan kepentingan antara China, Taiwan dan Jepang. 

Sementara LCS menjadi hotspot karena terdapat persinggungan kepentingan multi sektor dan multi aktor di dalamnya. Terkhusus untuk  yang disebut terakhir, dampaknya bagi ekonomi global, politik internasional dan keamanan regional sangat tinggi. Oleh karena itu, Indonesia perlu menaruh perhatian lebih untuk berbagai dinamika di Laut China Selatan dalam rangka memainkan peran yang vital dan strategis baik untuk kepentingan domestik maupun regional.

Tensi di sekitar LCS memiliki sejarah yang panjang dan bermula pada tahun 1947 ketika China mengeluarkan peta yang mengklaim kepemilikan atas LCS berbasis bukti-bukti sejarah 2000 tahun sebelumnya. China menaruh klaim dengan instrumen garis historis yang umum disebut sebagai nine dash line yang mencakup keseluruhan LCS. Klaim ini mendapat tentangan dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Taiwan. 

Lebih dari itu, Amerika Serikat juga menunjukkan tentangan atas klaim ini utamanya karena LCS merupakan rute transit penting untuk jalur minyak bumi dan terdapat kehadiran Angkatan Laut AS di LCS (Jawli, 2016). LCS saat ini telah menjadi titik sentral rivalitas antara China dan Amerika Serikat yang menjadi isu penting saat ini (Buzynski, 2012). 

Selain itu, mengingat LCS merupakan jalur perdagangan internasional yang ramai maka terdapat juga negara non claimant seperti India dan Jepang yang berkepentingan tetap menjaga LCS sebagai laut internasional.

Tensi terkait LCS merupakan suatu ketegangan yang bersifat multidimensional. Dalam artian, bukan hanya terkait dengan perselisihan teritorial. Lebih dari itu, terdapat juga tensi politik, tensi terkait potensi dan kerugian ekonomi serta diwarnai oleh potensi konflik antar negara yang tinggi. Perselisihan teritorial terjadi karena ada klaim yang meliputi wilayah maritim dan beberapa pulau di LCS. China mengajukan klaim bahwa memiliki hak ekslusif secara historis atas LCS, klaim yang ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Internasional di Hague. 

Secara ekonomi, diestimasikan bahwa setiap tahunnya nilai perdagangan internasional yang melewati LCS mencapai angka $5 triliun (Gurung, 2018). Hal yang tentunya akan memberi dampak ekonomi masif bagi pemegang hak eksklusif atas LCS dan kerugian besar bagi negara yang kehilangan akses atas LCS. Lebih dari itu, diperkirakan terdapat potensi minyak bumi sebesar 7,5 miliar barel dan gas alam sebesar 145,5 triliun kaki kubik (Jawli, 2016). 

Berbagai dinamika yang mengarah pada konflik juga telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya adalah terjadinya beberapa kali persinggungan antara Armada Penjaga Pantai China dan Filipina.

Ketegangan multidimensional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya apabila tidak disikapi dengan langkah-langkah yang tepat dan efektif berpotensi meinumbulkan krisis multidimensional. 

Apalagi, studi dari Gurung (2018) dengan jelas menemukan bahwa terdapat benturan doktrin kebijakan internasional antara China dan Vietnam terkait LCS. Pada satu sisi, China mengesahkan dua undang-undang yang menjadi basis klaim zona ekonomi eksklusif di LCS. Keduanya adalah Undang-Undang Tahun 1992 tentang Laut Teriorial dan Zona Tambahan serta Undang-Undang Tahun 1998 tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Pada sisi lain, Vietnam mengesahkan tiga kebijakan yang menjadi doktrin kebijakan internasional Vietnam terkait LCS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun