***Modhe ne'e hoga woe, modhe sai go nipi kobe, meku ne'e doa delu, meku bhodha sai leza zetu***
Hari itu saya sedang duduk di sebuah warung kopi di pinggiran kota Jogja tepatnya di Gang Biasa, Jln. Gadingan. Nama tempat itu Kopi pasir, karena pemiliknya menggoreng kopi di atas pasir yang panas.Â
Entah bagaimana caranya saya tidak mempedulikan hal itu, tetapi yang lebih menusuk di hati saya adalah pertanyaan teman saya  Wong (orang) Jogja. Pertanyaannya sederhana saja.Â
Mas mengapa beberapa orang Indonesia timur yang saya temui itu terlihat kasar dalam berbicara bahkan gerak fisik mereka seperti terlihat sangar?
Saya sangat terkejut dengan pertanyaan spontan dari teman saya itu. Saya hanya tersenyum dan tidak menjawab apa yang ditanyakannya, karena kebetulan pelayan kopi pasir tersebut sudah membawakan kopi hasil racikanya.Â
Saya mengabaikan pertanyaannya tersebut dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan materi perkuliahan esok di kampus, sehingga ia tidak lagi mempertanyakan hal itu.
Saya menyeruput kopi di hadapan saya itu, tetapi kopi kali ini rasanya lain. Setiap tegukan rasanya seperti menelan pertanyaan teman saya itu. Mengapa orang Timur itu kasar? mengapa mereka sangar? Apakah keluarga saya itu kasar? Apakah nenek moyang saya itu kasar? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul dipikiran saya sampai saya mengingat suatu filosofi sederhana yang terus digaungkan oleh leluhur, orang tua dikampung Modhe ne'e hoga woe, modhe sai go nipi kobe, meku ne'e doa delu, meku bhodha sai leza zetu.
Saya mencoba untuk terus merenungkan kaitan antara pertanyaan teman saya di kedai kopi pasir dan filosofi ini.
Ternyata filosofi ***Modhe ne'e hoga woe, modhe sai go nipi kobe, meku ne'e doa delu, meku bhodha sai leza zetu***Â mampu menjawabi pertanyaan teman saya di atas, setidaknya untuk diri saya sendiri.