Lalu, kepada siapa lagi kita berharap untuk mendukung program Destinasi Pariwisata Super Prioritas ketika orang-orang pintar di kawasan ini saja tak peduli dengan kebersihan yang merupakan hal mutlak yang tak bisa ditawar-tawar dalam sebuah pengembangan objek wisata?
Mereka belum dihadapkan untuk melakukan aksi membersihkan Danau Toba yang luasnya 1.145 meter persegi, hampir seluas negara Singapura, atau dituntut membersihkan sampah di bukit-bukit yang menjulang di kawasan ini?
Saya jadi teringat masa kecil ketika ada perayaan 17-an di kampung. Saat itu, ada puluhan bahkan ratusan orang yang hadir meramaikan acara.
Kebetulan, rumah kami berdekatan dengan lokasi acara, sehingga orangtuaku berinisiatif menggelar dagangan di depan rumah. Mereka angkat meja dan kursi seadanya lalu berjualan kopi dan teh manis memanfaatkan keramaian itu. Beberapa tetangga juga melakukan hal serupa.
Usai acara, sampah berserakan di lokasi. Tanpa komando, perintah, instruksi atau permohonan dari panitia atau pemerintah setempat, kami membersihkan lokasi sampai bersih. Sambil mengutip sampah, aku bertanya kepada bapak. "Kok jadi kita yang membersihkan ini, Pak?"
Dan sepotong kalimat dari bapak cukup membuat aku paham bahkan terpatri hingga sekarang. "Syukur-syukurlah ramai tadi di sini makanya kita bisa makan. Kerjakanlah, bersihkanlah," ujar bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H