Sejak ditetapkannya Kawasan Danau Toba menjadi Destinasi Super Prioritas, banyak harapan yang muncul dari berbagai lapisan masyarakat, salah satunya kesejahteraan. Karena memang pariwisata menyentuh begitu banyak bidang dan lintas profesi sehingga cukup beralasan kalau pengusaha hotel hingga petani merasa bersyukur atas penetapan Destinasi Pariwisata Super Prioritas tersebut.
Banyak pembangunan yang berlangsung. Misalnya, jalan lingkar Pulau Samosir yang lebar dan mulus, pelabuhan yang representatif, jalan tol menuju Kawasan Danau Toba yang hampir rampung, berbagai pelatihan untuk peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) bidang pariwisata dan ekonomi kreatif serta sejumlah bangunan pendukung, seperti revitalisasi rumah adat Batak, homestay, kawasan pedestrian, greenhouse, coffeeshop, creative hub dan lainnya. Bahkan pemerintah sudah sekuat tenaga 'menarik' pelaksanaan event dunia agar berlangsung di Kawasan Danau Toba, yaitu F1 H2O yang berlangsung 24 -- 26 Februari 2023.
Di sinilah letak masalah yang menyedihkan itu. Berbagai upaya telah dilakukan, namun fakta-fakta di lapangan seolah tidak merepresentasikan bahwa Kawasan Toba adalah Destinasi Pariwisata Super Prioritas.
Hal ini muncul di pikiran setelah saya melihat sebuah gedung yang dibangun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, yaitu Creative Hub Samosir yang berada di Pantai Indah Situngkir, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Tak diragukan lagi, pulau yang terletak di tengah-tengah Danau toba ini menawarkan keindahan yang tiada tara.
Bangunan ini diresmikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Salahuddin Uno pada 23 Maret 2022 lalu.
Creative hub merupakan wadah kreativitas bagi pelaku ekonomi kreatif (ekraf) dalam bentuk infrastruktur fisik. Adapun tujuan pembangunan creative hub adalah mendukung kegiatan pelaku ekonomi kreatif dalam berkarya.
Melalui kehadiran creative hub, pelaku ekraf dapat lebih mudah mengembangkan ide, bisnis, membangun jejaring, berorganisasi serta mempererat ikatan sesama pelaku ekraf lainnya.
Creative Hub Samosir ini dibangun di atas tanah seluas 1.000 meter persegi. Sementara luas bangunan 460 meter persegi, yang terbagi menjadi 2 lantai. Lantai 1 digunakan untuk aktivitas pengolahan kopi mulai dari ruang processing, laboratorium uji rasa, ruang pengemasan sampai dengan ruang display dan cafe untuk menjual hasil produksi komunitas.
Sedangkan lantai 2 terdapat ruang kelas multifungsi, coworking space dan meeting room yang dapat digunakan untuk pelatihan, workshop, diskusi atau aktivitas lainnya.
Wah, terdengar sangat fantastis. Dalam bayangan, gedung ini adalah tempatnya orang-orang kreatif, cerdas, para pejuang dan local champion di berbagai pelosok desa di Samosir.
Memang, asal usul dibangunnya creative hub ini oleh pemerintah merupakan permohonan yang disampaikan komunitas kreatif asal Kabupaten Samosir. Beberapa pegiat kopi menyatukan ide dan konsep bahwa harus ada sebuah wadah kreatif sebagai tempat bertemu, berdiskusi dan beraksi bagi para orang orang-orang kreatif untuk turut membangun Kabupaten Samosir menjadi lebih baik, sesuai cita-cita bersama.
Kini, bangunan sudah berdiri dilengkapi dengan sejumlah fasilitas di dalamnya, termasuk mesin pengolahan kopi, laboratorium dan lain sebagainya.
Informasi yang diperoleh, anggaran untuk bangunan dan fasilitas di dalamnya sebesar Rp7 miliar. Untuk tahun pertama, gedung ini diberikan gratis untuk dipergunakan dan diberdayakan oleh komunitas kreatif yang mengajukan proposal tersebut. Cukup fair memang, karena berawal dari ide mereka lah yang akhirnya membuat gedung ini berdiri di Samosir.
Nah, ada gedung megah, fasilitas mewah, diisi orang-orang kreatif, smart dan berbagai kata indah yang mewakili kehebatan mereka. Di gedung itu, anggota komunitas ini berdagang berbagai produk kuliner, seperti kopi, mi, nasi goreng, makanan ringan dan banyak lagi jenis lainnya.
Sejumlah pengarjin di Kabupaten Samosir juga menitipkan hasil karyanya di gedung ini, seperti gelang, topi, baju, bandana dan banyak lagi. Itu artinya, ada penghasilan yang lumayan yang mereka dapatkan, karena gedung dan fasilitas sudah diberikan gratis tanpa harus mengeluarkan uang sewa.
Selain itu, di depan gedung ini ada sebuah openstage yang digunakan sebagai lokasi event atau pertunjukan lainnya, baik itu event yang diselenggarakan pemerintah, lembaga negara maupun swasta atau event-event komunitas. Berarti, ada perkumpulan massa yang cukup besar sepanjang tahun.
Tapi, ketika ada bangunan, fasilitas dan konsumen yang mendukung para komunitas kreatif ini untuk mendapatkan uang melalui dagangannya, kesadaran untuk memelihara lokasi itu sama sekali tidak ada.
Betapa miris ketika melihat rumput tumbuh liar di sekitar gedung senilai miliaran rupiah ini sementara orang-orang di dalamnya adalah orang-orang pintar, kreatif, dan kondisi ini berlangsung sudah hampir setahun. Jelas mereka adalah orang-orang pintar.
Mereka sudah mampu mengasilkan ide cemerlang, mampu membuat proposal, mampu berkomunikasi baik dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, berkali-kali ikut pelatihan bidang pariwisata dan ekonomi kreatif, tapi apa yang terjadi? Rumput liar yang hanya sekitar 1 meter di sekitar bangunan saja tidak bisa mereka babat atau bersihkan.
Lalu, siapa yang harus disalahkan?
Terkadang kita secara eksplisit selalu menyalahkan pemerintah yang tak becus menjalankan program. Padahal, pembangunan gedung serta fasilitas di dalamnya merupakan usulan dari masyarakat yang kemudian dilakukan survei yang nyata dan berkelanjutan sehingga diperoleh keputusan bahwa creative hub memang layak dibangun di Samosir.
Lalu, kepada siapa lagi kita berharap untuk mendukung program Destinasi Pariwisata Super Prioritas ketika orang-orang pintar di kawasan ini saja tak peduli dengan kebersihan yang merupakan hal mutlak yang tak bisa ditawar-tawar dalam sebuah pengembangan objek wisata?
Mereka belum dihadapkan untuk melakukan aksi membersihkan Danau Toba yang luasnya 1.145 meter persegi, hampir seluas negara Singapura, atau dituntut membersihkan sampah di bukit-bukit yang menjulang di kawasan ini?
Saya jadi teringat masa kecil ketika ada perayaan 17-an di kampung. Saat itu, ada puluhan bahkan ratusan orang yang hadir meramaikan acara.
Kebetulan, rumah kami berdekatan dengan lokasi acara, sehingga orangtuaku berinisiatif menggelar dagangan di depan rumah. Mereka angkat meja dan kursi seadanya lalu berjualan kopi dan teh manis memanfaatkan keramaian itu. Beberapa tetangga juga melakukan hal serupa.
Usai acara, sampah berserakan di lokasi. Tanpa komando, perintah, instruksi atau permohonan dari panitia atau pemerintah setempat, kami membersihkan lokasi sampai bersih. Sambil mengutip sampah, aku bertanya kepada bapak. "Kok jadi kita yang membersihkan ini, Pak?"
Dan sepotong kalimat dari bapak cukup membuat aku paham bahkan terpatri hingga sekarang. "Syukur-syukurlah ramai tadi di sini makanya kita bisa makan. Kerjakanlah, bersihkanlah," ujar bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H