Mohon tunggu...
Sadewa Putra Palagan
Sadewa Putra Palagan Mohon Tunggu... Editor - Penulis, peminat buku dan film

Saya lahir dari keluarga petani di Pati, Jateng, kemudian hijrah ke Jambi, kuliah di Padang, dan kini tinggal di Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kuala Lumpur Love Story (9)

6 Januari 2019   23:21 Diperbarui: 6 Januari 2019   23:52 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Olahan Pribadi

HUJAN turun sangat deras ketika Abi sampai di Stasiun MRT Bukit Bintang. Keluar dari kereta, dia masuk ke ruang tunggu dan duduk di salah satu bangku panjang di sudut. Banyak orang keluar-masuk di stasiun ini. Salah satu stasiun paling ramai di Kuala Lumpur. Dari Stasiun Bukit Bintang ini, hampir semua jurusan penting bisa dijangkau sehingga lalu-lalang orang tak pernah berhenti.

Bukit Bintang adalah kawasan shoping paling terkenal di kota ini. Orang-orang asing dari berbagai negara ada di sini. Hampir semua orang sepakat, inilah surge wisata belanja di Malaysia. Juga kulinernya. Tak ketinggalan juga hiburan. Ini wilayah yang tak tidur. Orang-orang bisa tak tidur sampai pagi. Mereka bisa menikmati apa saja. Hiburan malam di night club, karaoke, minum-minum di bar, makan serba-enak di Alor. Dan sebagainya. Deretan mal besar, hotel, bar dan kelab malam akan menyapa.

Deretan mal besar membentang di depan mata. Ada Pavilion KL, Berjaya Times Square, Sephora Starhill Gallery, Fahrenheit 88, Lot 10, Sungei Wang Plaza dan lain sebagainya. Dari satu mal ke mal lainnya tak sulit karena lokasinya memang berdekatan. Buat yang mau belanja barang fashion branded, silakan ke Pavilion KL.

Sejumlah brand yang ada di sini adalah Coach, Versace, MaxMara, Dolce & Gabbana, Yves Saint Laurent. Ada pula Forever 21, hingga Pull & Bear. Asyiknya lagi, ada WiFi gratis yang bisa dipakai pengunjung.

Sedangkan kalau mau belanja baju, celana, aksesoris dan barang fashion lainnya dengan harga murah dan tentunya bersahabat di kantong, traveler bisa mampir ke Sungei Wang Plaza. Kalau mau menawar harganya pun bisa.

Cape belanja, saatnya istirahat sambil bersantap. Mencari makanan tak sulit, biasanya di mal-mal tersebut sudah tersedia food court. Di sekitar Jalan Bukit Bintang juga ada sejumlah restoran dengan menu bercita rasa Timur Tengah. Area ini pun tak jarang disebut sebagai Arab Street.

"Kau akan sendirian di Kuala Lumpur nanti..."

Abi teringat kalimat itu. Dewi. Ia sedang mempersiapkan kuliah bisnis S2-nya di Leicester, seperti yang diinginkan ayahnya. Sedang Abi tetap kukuh ingin melanjutkan S2-nya di Kuala Lumpur saja. Sebenarnya lebih tepatnya di Selangor. Maklumlah, tak banyak uang yang dimilikinya dibanding keluarga Dewi.

"Kalau kamu mau, kita bisa sama-sama ke Leicester," kata Dewi ketika itu

"Bercanda kamu. Ayahku hanya pegawai kecil di bea cukai yang hingga hari ini masih tak mau makan uang sogok..." kata Abi sambil tertawa. "Kalau dari dulu ayahku mau menerima uang enak itu, tak perlu aku bekerja paruh waktu sebagai wartawan ketika kuliah di Bandung. Tapi aku bangga dengan ayahku..."

"Iya. Kamu harus bangga dengan apa yang dilakukan oleh ayahmu. Tak banyak orang yang bekerja di bea cukai tak tergoda dengan lalu-lalang uang pelicin di sana..."

"Aku sudah berdiskusi dengan ayah dan ibuku soal kuliahku di Kuala Lumpur nanti..."

"Aku bisa bicarakan itu dengan papaku, kalau kamu mau," kata Dewi. "Aku bisa membuat alasan kalau aku perlu seorang teman yang sangat kupercaya. Kamu... Aku bisa bicara ke papa agar kamu masuk ke salah satu perusahaannya. Dan dari sana ada alasan kalau kamu harus meneruskan studi demi masa depan perusahaan. Kamu kuliah dengan uang perusahaan, sebagai karyawan yang disekolahkan...

Abi terkejut. Reflek dia menatap gadis cantik di depannya itu. Mereka sedang nongkrong di sebuah kaf di lantai 4 Senayan City ketika itu.

"Kenapa? Ada yang salah? Kok kamu terkejutnya kebangetan gitu?"

"Dewi..." katanya dengan suara tertahan. "Jika pun itu terjadi, misalnya papamu menyetujui, aku yang tak mau..."

"Kenapa?"

"Ya nggak mungkin lah... Itu tak baik untuk perusahaan papamu. Tak baik bagi karyawan lain..."

"Iya, aku paham pikiranmu bagaimana. Kamu bertahan dengan harga dirimu, kan?"

"Hanya itu yang kumiliki, Dewi..."

Hujan masih belum reda. Semakin deras. Terlihat angin yang meniup air dan tempiasnya menerpa kaca jendela. Terlihat embun menutupi beberapa ruas di kaca jendela itu. Nampaknya, dia harus menunggu lama lagi. Harus tetap di ruang tunggu itu beberapa waktu lagi.

"Aku hanya mencarikan jalan. Bisa saja memakai jalan lain, beasiswa misalnya, tetapi tetap harus campur tangan papaku..." kata Dewi lagi, saat itu.

"Caranya?" tanya Abi sambil menatap mata indah gadis itu. Ada yang mendesir di dadanya, namun dia berusaha mengenyahkannya.

"Papa kenal dengan banyak orang dari banyak kalangan. Papa bisa bicara dengan orang di pemerintahan yang bisa mengeluarkan beasiswa..."

"Aku tak bisa, Dew... Aku tetap mimilih ke Kuala Lumpur. Aku sudah bicara dengan sebuah harian di Jakarta ini, aku bisa menjadi korespenden mereka untuk Kuala Lumpur. Aku bisa hidup dengan pekerjaan itu. Aku juga punya tabungan yang lebih dari cukup untuk biaya kuliah, sewa flat, dan kehidupan sehari-hari di sana..."

"Jika aku menghiba padamu, kamu tak mau juga pergi bersamaku ke Inggris?" kata Dewi dengan tatapan tajam namun terlihat indah di mata Abi. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun