"Aku sudah berdiskusi dengan ayah dan ibuku soal kuliahku di Kuala Lumpur nanti..."
"Aku bisa bicarakan itu dengan papaku, kalau kamu mau," kata Dewi. "Aku bisa membuat alasan kalau aku perlu seorang teman yang sangat kupercaya. Kamu... Aku bisa bicara ke papa agar kamu masuk ke salah satu perusahaannya. Dan dari sana ada alasan kalau kamu harus meneruskan studi demi masa depan perusahaan. Kamu kuliah dengan uang perusahaan, sebagai karyawan yang disekolahkan...
Abi terkejut. Reflek dia menatap gadis cantik di depannya itu. Mereka sedang nongkrong di sebuah kaf di lantai 4 Senayan City ketika itu.
"Kenapa? Ada yang salah? Kok kamu terkejutnya kebangetan gitu?"
"Dewi..." katanya dengan suara tertahan. "Jika pun itu terjadi, misalnya papamu menyetujui, aku yang tak mau..."
"Kenapa?"
"Ya nggak mungkin lah... Itu tak baik untuk perusahaan papamu. Tak baik bagi karyawan lain..."
"Iya, aku paham pikiranmu bagaimana. Kamu bertahan dengan harga dirimu, kan?"
"Hanya itu yang kumiliki, Dewi..."
Hujan masih belum reda. Semakin deras. Terlihat angin yang meniup air dan tempiasnya menerpa kaca jendela. Terlihat embun menutupi beberapa ruas di kaca jendela itu. Nampaknya, dia harus menunggu lama lagi. Harus tetap di ruang tunggu itu beberapa waktu lagi.
"Aku hanya mencarikan jalan. Bisa saja memakai jalan lain, beasiswa misalnya, tetapi tetap harus campur tangan papaku..." kata Dewi lagi, saat itu.