"Memang itu menjadi masalah?" tanya Abi.
"Mungkin tidak bagiku, tapi bagi pacar-pacarmu itu pasti menjadi masalah..."
"Ah, itu kan perasaanmu saja."
"Kamu harus belajar menghargai wanita-wanitamu, Abi..." kali ini suara Dewi terdengar serius.
Abi menatapanya. Mata yang lembut dan indah, sebenarnya, tetapi terlihat sangat tegas. Tak ada terlihat kesan sombong dan marah di sana, tapi menjelaskan bahwa apa yang dikatakannya tadi adalah sebuah kebenaran.
Abi yang tadi hampir tertawa ketika mendengar itu, tiba-tiba mengurungkannya setelah melihat mata lembut tapi tegas itu. Dia pura-pura menggaruk kepalanya yang tak gatal. Hal yang sering dilakukannya ketika dia tak tahu apa yang harus dilakukannya, termasuk ketika salah tingkah di depan gadis itu.
"Aku bicara serius," sambung gadis itu lagi.
Kembali, Abi menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu.
"Iya iya. Aku tahu..."
"Seandainya aku kekasihmu dan kamu melakukan itu padaku, apakah kamu tega melihatku menderita karena tersakiti olehmu?"
"Aku... Aku..." suara Abi terdengar kelu. Dia tak bisa menjawabnya.
Hari itu Bandung terasa dingin. Seperti di hari-hari sebelumnya, hujan berhari-hari turun tak kenal waktu. Jalanan terlihat selalu basah. Aspal terlihat semakin hitam karena siraman air. Mereka sedang duduk di sebuah bangku di Braga ketika itu. Di seberang sebuah kedai kopi. Di sebelah bar yang terlihat ramai di senja menjelang malam itu. Angin berhembus tak terlalu kencang, tetapi air hujan yang terus mengguyur terlihat meliuk karena terpaan angin itu.
Meski dibalut jaket tebal yang dipakainya, Abi melihat Dewi menahan dingin. Meski tak terlihat menggigil. "Mungkin kita perlu kopi di seberang itu," kata Abi kemudian.
"Tidak usah. Aku ingin duduk di sini saja menikmati hujan..."
"Kamu kedinginan..."
"Tidak... Aku ingin melanjutkan pembicaraan tadi. Kamu jangan mengalihkan pembicaraan..."
"Pembicaraan yang mana?"
"Tentang caramu memperlakukan gadis-gadismu..."
"Mmmmm..."
"Kamu harus mulai serius. Pilihlah salah satu dari mereka, dan seriusilah..."
Terdengar suara Dewi yang agak melemah dan cenderung serak menjelang ujung kalimatnya tadi. Terdengar berat di telinga Abi. Dewi juga merasakan sendiri. Namun dia berusaha tenang di tengah gigil yang sebenarnya sudah mulai menyerangnya.
"Kamu terlihat menggigil... Ayolah kita menyeberang ke kedai kopi itu. Atau kita cari di sebelah sini saja dan tak usah menyeberang?" kata Abi, memang disengajanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Dewi menoleh ke arah Abi. Ia tahu cowok itu memang sengaja mengalihkan arah pembicaraan. "Gayamu. Selalu begitu kalau diajak ngomong serius..." katanya kemudian sambil tersenyum ketika melihat Abi sering menggaruk kepalanya.
"Aku sedang tak mau membicarakan orang lain. Aku mengajakmu jalan ke sini untuk menemanimu menikmati hujan. Tadi aku hampir membawa paying, tapi aku tahu kamu tak pernah mau pakai payung saat hujan begini. Aku sengaja memakai jaket tebal ini kalau-kalau kamu kedinginan. Ternyata kamu sudah memakai jaket sendiri..."
"Jangan sok romantis..."
"Nggak boleh ya romantis pada teman sendiri..."
"Jika aku kekasihmu... Aku kan bukan kekasihmu..."
"Kamu lebih penting dari semua gadis yang pernah menjadi pacarku..."
"Gombal kamu! Aku pula yang kamu gombalin... Pret!" kata Dewi sambil memejet hidung Abi. Kemudian ia tertawa, namun terdengar lembut di telinga Abi.
Teringat itu, Abi mengeluh dalam hati. Mengapa kami harus mengikrarkan bahwa sampai kapanpun kami tetap sahabatan? Bukankah sebenarnya ia gadis yang paling memahami diriku? Yang selalu ada ketika aku membutuhkannya? Yang kadang membetulkan kancing bajuku yang salah masuk sehingga banyak mahasiswa yang bilang aku berdandan seperti badut? Bukankah dia selama ini tak menuntut apapun dariku seperti gadis-gadis lain yang selama ini menjadi pacarku? Bahkan ketika dia ngajak bertemu dan aku bilang sedang bersama si Meli, Luna, atau Valeria, dia memilih mengalah dan bilang bahwa mereka lebih penting dari dirinya?
Dan kini, segala kenangan di Bandung itu kembali dalam ingatannya. (bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI