Dewi menoleh ke arah Abi. Ia tahu cowok itu memang sengaja mengalihkan arah pembicaraan. "Gayamu. Selalu begitu kalau diajak ngomong serius..." katanya kemudian sambil tersenyum ketika melihat Abi sering menggaruk kepalanya.
"Aku sedang tak mau membicarakan orang lain. Aku mengajakmu jalan ke sini untuk menemanimu menikmati hujan. Tadi aku hampir membawa paying, tapi aku tahu kamu tak pernah mau pakai payung saat hujan begini. Aku sengaja memakai jaket tebal ini kalau-kalau kamu kedinginan. Ternyata kamu sudah memakai jaket sendiri..."
"Jangan sok romantis..."
"Nggak boleh ya romantis pada teman sendiri..."
"Jika aku kekasihmu... Aku kan bukan kekasihmu..."
"Kamu lebih penting dari semua gadis yang pernah menjadi pacarku..."
"Gombal kamu! Aku pula yang kamu gombalin... Pret!" kata Dewi sambil memejet hidung Abi. Kemudian ia tertawa, namun terdengar lembut di telinga Abi.
Teringat itu, Abi mengeluh dalam hati. Mengapa kami harus mengikrarkan bahwa sampai kapanpun kami tetap sahabatan? Bukankah sebenarnya ia gadis yang paling memahami diriku? Yang selalu ada ketika aku membutuhkannya? Yang kadang membetulkan kancing bajuku yang salah masuk sehingga banyak mahasiswa yang bilang aku berdandan seperti badut? Bukankah dia selama ini tak menuntut apapun dariku seperti gadis-gadis lain yang selama ini menjadi pacarku? Bahkan ketika dia ngajak bertemu dan aku bilang sedang bersama si Meli, Luna, atau Valeria, dia memilih mengalah dan bilang bahwa mereka lebih penting dari dirinya?
Dan kini, segala kenangan di Bandung itu kembali dalam ingatannya. (bersambung)