Sore itu, saya tiba di kota Y. Karena memang tujuan saya tidak jelas, maka saya melepas penat dulu di bangku stasiun. Membuka gawai. Barangkali ada notifikasi yang bisa membuat gembira.
Benar saja. Dua pesan masuk via sms. Satu pesan dari provider. Mengabari saya jika ada promo paket data. Satu lagi dari nomor yang tidak saya kenal. Nomor itu mengabari saya jika saya mendapat hadiah ratusan juta.
Slmt anda terpilih. . . .
Men-dptkan Cek 189 jt
Dri PERTAMINI
code ID(717747)
selengkapnya klik.
s.id/info-pertamini-368
Saya membalas kabar menjengkelkan itu. Dengan cara menyalin isi pesan dan mengirimkannya kembali.
Sebuah keributan terjadi di depan peron. Seorang perempuan paruh baya menuding-nuding seorang laki-laki tua. Suara perempuan itu menggusur ketenangan stasiun. Saya mendekat. Beberapa penumpang mengabaikan kejadian itu. Beberapa lagi berlagak ingin tahu seperti saya.
"Lelaki tua ini menabok pantatku. Bajingan sekali. Memangnya aku murahan?"
Begitu kira-kira yang sempat saya dengar. Sebelum polisi datang dan membawa keduanya.
Lalu saya memutuskan untuk meninggalkan stasiun itu. Saya yang tidak punya tujuan memilih jalan kaki saja. Begitu keluar dari stasiun, kaki saya mengajak ke arah kiri. Saya pun mengikuti ajakan kaki saya.
Sore itu lalu lintas lumayan padat. Suara klakson bertubi-tubi meninju gendang telinga. Bau menyengat asap knalpot bus tua menyergap wajah. Hingga saya terbatuk-batuk. Saya menyumpahinya. Bagaimana bisa, kota yang sebesar ini masih menyisakan kendaraan yang sudah layak dikandangkan. Sama sekali tidak ramah lingkungan.
Di dekat jembatan penyeberangan, terdengar seseorang memanggil nama saya. Sontak saya berhenti. Lalu mencari sumber suara. Namun saya tidak menemukan siapa dia. Sekali lagi saya memeriksa barangkali ada wajah yang terekam di kepala. Hasilnya nihil.
Ketika saya berbalik dan hendak meneruskan perjalanan, perempuan itu tiba-tiba saja berada di hadapan saya. Saya kaget bukan main. Hampir saja saya tubruk.
"Ah, Baron. Kamu ngapain di kotaku?"
Saya tergeragap.
"Loh. Kamu..."
Saya tidak bisa meneruskan. Perempuan itu langsung menghujani saya dengan banyak pertanyaan yang membuat saya bingung menjawabnya.
"Oke. Ikut saya saja. Aku ingin dengar ceritamu!"
Dia menyeret tangan saya. Kami menyusuri gang-gang yang dihimpit bangunan-bangunan tua. Kota ini memang dikenal dengan bangunan tua yang ikonik. Bangunan sejak zaman Belanda, begitu yang pernah saya dengar. Entah isapan jempol atau sebaliknya.
Seperti anak kecil, tangan saya diseretnya. Tetapi orang-orang sepertinya tidak begitu peduli dengan yang kami lakukan. Kami berhenti di sebuah rumah yang bangunannya lebih kecil dari rumah-rumah di kanan-kirinya. Tetapi bentuknya serupa  Temboknya putih bersih. Sekali pandang, saya sangat menyukainya.
"Well. Baron, apa yang kamu cari di kota ini?"
Ia menatap saya lekat-lekat.
"Saya tak tahu kamu di sini. Juga bagaimana kamu bisa mengenali saya. Saya saja masih belum begitu percaya jika kamu adalah kamu" intonasi saya sangat buruk.
Ia tertawa.
"Suaramu payah. Tetap payah. Sangat payah" ujarnya masih dengan senyumannya yang sedari tadi menggedor jantung.
Ia berdiri dan menghilang di balik pintu. Lalu kembali dengan membawa dua botol minuman dingin. Ia Menyorongkan pada saya. Kami meminumnya hampir bersamaan.
Ia cerita banyak hal tentang hidupnya. Tentang apa-apa yang dibencinya di kota ini. Secara rigid ia menumpahkan kepada saya. Sampai-sampai saya merasakan juga ikhwal benci itu.
Jujur saja, saya terbius olehnya. Caranya dia bicara. Cara dia tersenyum. Bagaimana bola matanya yang penuh pesona. Juga suaranya yang sangat empuk di telinga.
Setelah derai tawa oleh ceritanya, tiba-tiba saja raut mukanya berubah. Dari gembira menjadi murung. Air matanya luruh di pipinya. Ia cepat-cepat mengambil tisu. Mengelapnya sembari minta maaf.
Suasana yang semarak kini menjadi sebaliknya. Saya kikuk menghadapi perubahan ini.
"Maafkan saya. Maafkan. Saya telah membawamu ke sini." suaranya parau. Ada penyesalan yang saya tangkap dari sorot matanya.
"Setiap akhir pekan, saya selalu berada di tempat itu. Melihat kalau-kalau, orang yang saya kasihi benar-benar ada. Benar-benar tiba."
Saya menyimak penjelasannya.
Ia lalu menceritakan kisah yang sebenarnya sudah tidak ingin dibicarakannya. Kekasihnya, meninggalkan tepat di hari ulangtahunnya.
"Ia berjanji akan mengunjungi kota ini. Biasanya dia turun dari bus di tempatmu berdiri. Lalu aku memanggilnya. Dan persis seperti yang aku lakukan padamu. Aku membawanya berlari. Membawa debar-debar rindu ke tempat ini. Ke rumah ini."
Saya berusaha memahami apa yang telah ia sampaikan. Mulanya saya terkejut, ketika perempuan di depan saya ini memanggil saya. Memberondong pertanyaan. Hingga membawa saya duduk di beranda.
Kenapa saya tidak berusaha menolaknya, juga saya tidak bisa menjelaskan. Sepenuhnya saya sadar. Jika perempuan di depan saya ini tidak saya kenal. Tetapi ketika ia mengajak saya, saya secara sukarela menyerahkan diri saya.
"Bukan. Bukan tidak menepati janji. Ia pergi untuk selamanya. Aku tahu beberapa minggu setelahnya. Padahal, beberapa pekan setelahnya, kami akan menikah. Tetapi takdir berkata lain."
Saya hanya mengangguk saja. Sejujurnya saya ingin bertanya ini itu. Tetapi ada penolakan dalam pikirin saya. Kalau-kalau nanti, pertanyaan saya salah dan membuatnya tidak nyaman.
Saya membeli tiket kereta api pulang dan pergi. Jadwal kepulangan saya pukul 19.00. Tetapi, saya merasa tidak ingin meninggalkan tempat ini. Saya ingin bertahan di sini. Mendengarkan ceritanya yang kacau. Dengan senyuman yang melemahkan saya sepenuhnya.
Setelah pengakuan itu, ada semacam jarak yang muncul begitu saja. Yang tidak saya inginkan.
"Kamu mau kemana Bin?
Saya tersenyum. Saya katakan sejujurnya, jika saya tidak mempunyai tujuan yang jelas.
"Ada hal-hal yamg membuat kita harus lari dari jeratan hidup. Mungkin Itu alasan saya ke kota ini. Juga, barangkali Tuhan telah megatur pertemuan kita dengan seksama.." saya tersenyum.
Cantika, demikian nama perempuan itu. Ia mengantar saya ke stasiun. Juga ia dengan repotnya, membawakan saya makanan.
"Ini bisa buat hiburan di kereta api. Aku pernah ke kotamu. Cukup melelahkan jika dengan kereta api" ucapnya sembari menyorongkan bungkusan.
Masih saya ingat dengan jelas, senyum perpisahan dari Cantika di stasiun itu. Senyuman yang menyeret kesadaran saya sepenuhnya.
Sepanjang perjalanan, pikiran saya melayang-layang tak karuan. Justru ketika saya punya tujuan untuk pulang, kini seperti tidak punya tujuan. Sepertinya, seluruh hidup saya tersangkut di beranda itu. Malam terus bergulir. Menggilas penyesalan yang tiba-tiba terbit dalam kepala.
21/9/21
Menentang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H