"Suaramu payah. Tetap payah. Sangat payah" ujarnya masih dengan senyumannya yang sedari tadi menggedor jantung.
Ia berdiri dan menghilang di balik pintu. Lalu kembali dengan membawa dua botol minuman dingin. Ia Menyorongkan pada saya. Kami meminumnya hampir bersamaan.
Ia cerita banyak hal tentang hidupnya. Tentang apa-apa yang dibencinya di kota ini. Secara rigid ia menumpahkan kepada saya. Sampai-sampai saya merasakan juga ikhwal benci itu.
Jujur saja, saya terbius olehnya. Caranya dia bicara. Cara dia tersenyum. Bagaimana bola matanya yang penuh pesona. Juga suaranya yang sangat empuk di telinga.
Setelah derai tawa oleh ceritanya, tiba-tiba saja raut mukanya berubah. Dari gembira menjadi murung. Air matanya luruh di pipinya. Ia cepat-cepat mengambil tisu. Mengelapnya sembari minta maaf.
Suasana yang semarak kini menjadi sebaliknya. Saya kikuk menghadapi perubahan ini.
"Maafkan saya. Maafkan. Saya telah membawamu ke sini." suaranya parau. Ada penyesalan yang saya tangkap dari sorot matanya.
"Setiap akhir pekan, saya selalu berada di tempat itu. Melihat kalau-kalau, orang yang saya kasihi benar-benar ada. Benar-benar tiba."
Saya menyimak penjelasannya.
Ia lalu menceritakan kisah yang sebenarnya sudah tidak ingin dibicarakannya. Kekasihnya, meninggalkan tepat di hari ulangtahunnya.
"Ia berjanji akan mengunjungi kota ini. Biasanya dia turun dari bus di tempatmu berdiri. Lalu aku memanggilnya. Dan persis seperti yang aku lakukan padamu. Aku membawanya berlari. Membawa debar-debar rindu ke tempat ini. Ke rumah ini."