Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makam Keempat

7 Maret 2021   15:00 Diperbarui: 7 Maret 2021   15:07 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekujur tubuhnya membiru. Konon sebelum menemui ajal, ia dihajar dulu. Ada yang bilang, juga disetrum hingga terkencing-kencing. Dan banyak penyiksaan lagi rumornya. Jika dicatat, semakin membuat bulu kuduk berdiri. Tetapi karena ini memang menjadi tugas saya, mau tidak mau harus jelas semuanya.

Tetapi kenapa itu harus terjadi? Kenapa dan apa biang permasalahannya? 

Sebagai penulis novel yang sudah kehabisan ide, saya mencoba untuk meriset sebagai bahan. Siapa tahu bisa meledak. Buuum.

Ada yang mengatakan, almarhum memang sudah sepantasnya diperlakukan semacam itu. Katanya, semasa hidupnya setiap langkahnya adalah kebejatan. 

"Almarhum tertangkap basah. Warga yang sudah naik pitam karena kelakuannya lepas kontrol. Main hajar dan seterusnya. Hingga kemudian tibalah itu petugas keamanan. Mengamankan. Hingga kabar itu tiba beberapa hari setelahnya. Mati. Ya mati." ujar Pak RT dengan penuh kemenangan.

Selain Pak RT saya juga mendapat banyak materi dari orang-orang yang waktu itu ikut terlibat dalam aksi yang mereka sebut sebagai perang melawan kebatilan itu.

...

Secara tidak sengaja saya mendengar perbincangan di terminal kota S. Obrolan dua orang yang sepertinya lama tidak pernah berjumpa. Saya yang berada di kursi tepat di belakang keduanya, memasang telinga dengan cermat. Saya kemudian mereka pembicaraan itu. 

Selanjutnya, menelisik peristiwa yang dibincangkan itu. Setelah terang benderang, saya memutuskan untuk berangkat ke sana. Tanpa diduga saya bertemu kawan lama. Sepertinya semesta memberikan jalan yang begitu lebar buat saya. 

Berbekal sebuah nama, yang saya dapat dari kawan saya, perjalanan dimulai dengan lebih mudah dari bayangan. Harsoyo, demikian saya menyapa kali pertama bertemu dengannya. 

Setelah menceritakan tentang bagaimana saya tahu dirinya, ia menerima saya dengan sangat baik. Konon, nyawanya pernah diselamatkan kawan saya itu. 

...

"Tanah ini tidak menerima jenazahnya. Semua menolak. Kompak. Bahkan daun-daun sekalipun." ujar Harsoyo.

Saya terkejut bukan main. Dari beberapa keterangan, almarhum dimakamkan di luar desa. Jauh dari pemukiman. Lebih tepatnya, dimakamkan di hutan. Persisnya saya belum tahu. 

"Tapi kamu perlu ke rumahnya."

Lelaki itu memberi saya detail alamat yang harus saya kunjungi. Segera saya berangkat dengan beragam tiktok di kepala.

Seorang perempuan tua hanya memberikan senyuman getir. Tatapan kosong. Pertanyaan saya menguar begitu saja. Saya sudah mendapat kabar sebelumnya. Jika perempuan di hadapan saya ini terganggu jiwanya. Selepas kematian almarhum.

Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dijawabnya dengan tarikan nafas yang berat. Kedipan mata yang gelisah. Hingga saya putuskan untuk menunggu. Ternyata setelah hampir satu jam, saya menyerah.

"Terima kasih Bu. Bagaimanapun saya tidak akan pernah bisa merasakan kepedihan itu. Kepedihan seorang ibu yang ditinggal putra semata wayangnya."

Ketika saya beranjak, perempuan itu menarik tangan saya. Lalu menangis tersedu-sedu. Saya kembali duduk. Menunggu.

"Tolong kamu sampaikan pesan saya. Suruh dia pulang. Anak bandel itu. Sudah saya siapkan sarapan. Saya masak makanan kesukaannya..."

Tak ada lagi ucapan dari perempuan itu. Ia segera berdiri. Lalu masuk ke rumahnya. Pintu ditutup perlahan. 

Saya merenung. Memang benar-benar tidak waras perempuan itu. Anaknya mati sepuluh tahun lalu. Tetapi seperti baru saja tadi pagi meninggalkannya.

"Ah, bagaimanapun saya berkewajiban untuk menyampaikan amanat ini.." ujar saya lirih. Lalu meninggalkan rumah itu.

Setelah beberapa kali menggali informasi, saya berhasil menemukan titik terang. Saya diantar salah satu warga ke makam almarhum. 

"Bapak jalan saja ke arah sana. Nah nanti akan ada beringin. Belok kanan kira-kira 100 meter dan tak jauh dari situ ada beberapa makam. Makam keempat dari pojok. Itu dia. Saya tunggu di sini saja. Kualat kalau sampai saya ke sana." ujar lelaki itu.

Saya melangkah mengikuti petunjuk itu. Sebenarnya saya sudah membujuk supaya ia mengantar saya. Bahkan saya iming-imingi dengan bayaran lebih besar. Tapi tetap tak bergeming. 

"Tak ada penduduk yang menziarahinya. Katanya kualat. Begitu yang saya dengar. Dan saya tak ada alasan untuk melanggarnya.."

Saya melangkah dengan misi yang telah saya sebut di atas. Menyampaikan amanat. Sudah itu saja. Bukan hal-hal lain yang tiba-tiba berkecamuk di kepala. 

Entah kenapa, timbul dalam kepala saya. Jika saya punya kewajiban untuk menyelidiki tragedi ini. Tetapi susah payah saya usir pemikiran macam demikian. Namun semakin bertubi-tubi mengajar ruang kepala saya.

Hawa sore yang mulai dingin. Angin berhembus lumayan kencang. Suara gesekan daun. Suara burung hantu yang bersahut-sahutan. Kini membuat bulu kuduk saya berdiri. 

Saya tiba di tempat itu. Tempat yang ditunjukkan lelaki yang mengantar saya. Tetapi saya tidak menemukan makam. Satu pun.  

Setelah memastikan ke sana kemari, saya mulai menyerah. Saya menganggap lelaki tadi itu menipu saya. Suasana menjadi gelap. Peluh saya membanjir. 

Nun jauh di sana, suara adzan magrib berkumandang. Saya segera bergegas. Kembali menuju jalan utama. Namun sejauh saya berjalan, saya hanya berputar-putar di arah yang telah saya lewati. Begitu hingga akhirnya saya ambruk. Tepat di bawah rimbunnya pohon beringin.

Sinar rembulan mulai muncul. Suara teriakan-teriakan yang semakin lama semakin keras dan dekat, membuat pikiran saya menjadi tidak karuan. 

Tanpa ampun, saya melihat dengan jelas. Tubuh itu dihajar habis-habisan. Sampai mampus. Pengeroyok itu bersorak-sorai sambil memandangi saya. 

"Sekarang habisi dia." ujar salah seorang lelaki yang wajahnya tampak tidak asing itu.

Tubuh saya berat sekali untuk digerakkan. Sementara pengeroyok itu berlarian ke arah saya. Menyabetkan senjata yang menghancurkan tubuh saya. 

"Mampus kau iblis. Entahlah ke neraka.."

Tentu saya terkesiap. Tanpa berpikir dua kali saya berlari kembali ke jalan utama. Bayangan-bayangan itu meninju kewarasan saya. Saya berlari sekuat tenaga. Laiknya pengecut yang kabur dari Medan perang. Lelaki itu tertawa-tawa melihat saya ngos-ngosan. Saya jatuhkan diri saya. Tepat di hadapannya.

"Apa aku bilang. Kualat-kualat," ujarnya penuh kemenangan.

Terseok-seok

15/2/2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun