...
"Tanah ini tidak menerima jenazahnya. Semua menolak. Kompak. Bahkan daun-daun sekalipun." ujar Harsoyo.
Saya terkejut bukan main. Dari beberapa keterangan, almarhum dimakamkan di luar desa. Jauh dari pemukiman. Lebih tepatnya, dimakamkan di hutan. Persisnya saya belum tahu.Â
"Tapi kamu perlu ke rumahnya."
Lelaki itu memberi saya detail alamat yang harus saya kunjungi. Segera saya berangkat dengan beragam tiktok di kepala.
Seorang perempuan tua hanya memberikan senyuman getir. Tatapan kosong. Pertanyaan saya menguar begitu saja. Saya sudah mendapat kabar sebelumnya. Jika perempuan di hadapan saya ini terganggu jiwanya. Selepas kematian almarhum.
Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dijawabnya dengan tarikan nafas yang berat. Kedipan mata yang gelisah. Hingga saya putuskan untuk menunggu. Ternyata setelah hampir satu jam, saya menyerah.
"Terima kasih Bu. Bagaimanapun saya tidak akan pernah bisa merasakan kepedihan itu. Kepedihan seorang ibu yang ditinggal putra semata wayangnya."
Ketika saya beranjak, perempuan itu menarik tangan saya. Lalu menangis tersedu-sedu. Saya kembali duduk. Menunggu.
"Tolong kamu sampaikan pesan saya. Suruh dia pulang. Anak bandel itu. Sudah saya siapkan sarapan. Saya masak makanan kesukaannya..."
Tak ada lagi ucapan dari perempuan itu. Ia segera berdiri. Lalu masuk ke rumahnya. Pintu ditutup perlahan.Â