Ia mengambil sepeda angin. Mengayuhnya keliling kampung. Sesekali menyapa beberapa kenalanannya. Kemudian pulang dan kembali membaca hasil tulisannya. Lalu menulis lagi berlembar-lembar sampai sore.
Malam harinya, ia menyerahkan tulisannya pada perempuan berkacamata yang berwajah cemas itu.
"Kamu kerjakan sebagaimana biasanya. Jangan pernah mengubah apapun dalam tulisan itu. Besok malam datang lagi."
Novelis itu hanya bicara itu saja. Tanpa basa-basi. Perempuan muda tersebut malah sama sekali tidak bicara. Ia hanya mengangguk dengan canggung. Kemudian pergi dengan mobil hitamnya. Ia adalah asistennya. Tugasnya mengetik tulisan tangan yang sangat ruwet si novelis. Untuk semua buku-bukunya.
Ketika seminggu telah berlalu, Swassti datang pagi hari membawa satu jilid berkas. Setebal 600 halaman. Setelah menyerahkan, ia balik dan hendak pergi.
"Duduk dulu. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Swassti terkejut. Ia segera duduk. Menatap lelaki itu.
"Jika saya mampus sebelum novel ini terbit, saya minta kamu yang urus semuanya. Saya tahu, tanpamu maka novel saya akan kering. Akan menjadi sampah di jalanan. Menjadi bungkus kacang goreng."
Untuk kali pertama, ia menatap Swassti. Sekejap. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jalan yang lengang.
"Besok saya akan menikahimu. Sebagaimana janji saya pada mending ayahmu dulu"
Swassti menunduk. Lelaki di depannya itu adalah orang yang sudah ia anggap sebagai dewa. Ia tidak bicara padanya, karena ia menganggap itu sebuah ketidakpantasan. Ia dapat melanjutkan hidup dengan serba ada juga berkat lelaki di hadapannya itu.