Sangat mungkin seorang guru, oleh karena satu dan lain hal, pindah kelas dalam mengajar. Bisa jadi baru satu semester mengajar di Kelas A, pada semester berikutnya guru ini pindah mengajar di Kelas B.
Hal yang seperti ini justru lebih tampak terjadi saat awal tahun pelajaran. Di sekolah menengah pertama (SMP) dan yang sederajat, juga di sekolah menengah atas (SMA)/ sekolah menengah kejuruan (SMK) dan yang sederajat, guru cenderung tak dapat mengikuti siswa yang naik kelas.
Di jenjang sekolah dasar (SD) dan yang sederajat pun menghadapi hal yang serupa. Apalagi di SD guru kelas, tak guru mata pelajaran (mapel). Jadi, jelas guru tak dapat mengikuti siswa yang naik kelas.
Siswa yang berada di Kelas A atau siswa yang naik kelas dapat saja merindukan guru yang dahulu pernah mengajarnya. Kerinduan ini dapat diwujudkan dalam beragam bentuk.
Misalnya, merengek, "kok tidak mengajar lagi"; selalu memanggil saat berpapasan atau melihat sekalipun dari jarak agak jauh; menanyakan secara persuasif, "besok mengajar lagi?"; atau berkata, "sekarang tidak jelas saat diajar"; bisa seperti ini juga, "saya bingung". Mungkin masih ada yang lain wujud kerinduan mereka.
Saat ada siswa mengatakan kepada guru bahwa ia merasa lebih jelas atau lebih bisa saat diajar --yang artinya siswa memperoleh pengetahuan-- ketimbang diajar oleh guru yang lain, umumnya guru termaksud merasa senang. Sebab, pelajaran yang sudah diajarkannya dimengerti oleh siswa.
Tentu alasan guru merasa senang tak hanya karena hal seperti ini. Tetapi, bisa juga karena guru merasa dapat diterima oleh siswa.
Sekalipun merasa diterimanya hanya karena siswa merasa sudah jelas atau bisa atas materi yang diajarkan oleh guru termaksud.
Sekalipun hanya satu siswa yang memberi apresiasi seperti telah disebut di atas, galibnya guru tetap merasa senang dan sekaligus merasa diterima oleh siswa.
Satu siswa saja dapat membuat guru merasa senang dan sekaligus merasa diterima oleh siswa, betapa lebih (lagi) merasa senang dan sekaligus merasa diterima jika yang mengatakan semua siswa.
Tetapi, rasanya tak mungkin ada keajaiban seperti ini. Sebab, setiap siswa memiliki kekhasan. Setiap siswa memiliki keunikan.
Sederhananya, ada siswa yang relatif mudah menerima penjelasan guru. Ada juga siswa yang merasa tak mudah menerima penjelasan guru. Ada pula siswa yang merasa kesulitan menerima penjelasan guru. Bahkan, ada siswa yang sama sekali tak mengerti penjelasan guru.
Kekhasan dan keunikan siswa memang tak sebatas seperti yang sudah disebut di atas. Artinya, tak sebatas diukur dengan (sudah) jelas atau tak jelas tentang pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Karena, di dalam diri siswa ada emosi, mental, spiritual, gagasan, persepsi, sikap, pengakuan, kebutuhan, dan sisi-sisi lain yang membutuhkan sentuhan, perhatian, dan (bahkan) kritikan.
Itulah realitas siswa yang mengikuti pembelajaran. Tak ada yang sama persis dalam menerima penjelasan guru. Juga begitu banyak hal yang perlu mendapat pemenuhan agar mereka merasa aman, bahagia, nyaman, dan merasa diterima dalam proses pembelajaran.
Jadi, jika siswa menyampaikan kerinduannya hanya sebatas dengan mengucapkan bahwa ia sudah jelas atau bisa mengenai materi yang diajarkan oleh guru, guru tak perlu terburu-buru merasa senang. Sebab, hal ini hanya lebih berorientasi ke arah kompetensi profesional guru.
Padahal, guru perlu memiliki empat kompetensi. Selain kompetensi profesional, ada kompetensi pedagogik, kepribadian, dan sosial. Artinya, sudah semestinya keempat kompetensi guru ini dirasakan oleh siswa di dalam proses pembelajaran.
Karenanya, ketika ada siswa yang merasa rindu untuk diajar lagi oleh guru tertentu karena guru mengajar di kelas lain dengan hanya mengatakan bahwa ia sudah bisa tentang pelajaran yang disampaikan oleh guru termaksud, guru ini perlu refleksi diri.
Apalagi jika yang mengatakan hal seperti ini hanya satu-dua-tiga dari 32 siswa, segaralah guru melakukan refleksi diri! Refleksi dapat diartikan sebagai sebuah ikhtiar yang bersifat kontemplatif agar dapat mengidentifikasi keberadaan diri pada masa yang sudah terlewati dan sekaligus mengambil resolusi untuk masa mendatang.
Banyak orang, selain pakar --terutama pakar pendidikan--, meyakini bahwa refleksi merupakan sebuah fase yang harus dilakukan setelah sebuah kegiatan, termasuk kegiatan pembelajaran, dilaksanakan.
Dalam maksud untuk mencatat kelemahan dan kelebihan yang terjadi selama proses pembelajaran. Dengan catatan ini, guru dapat mengambil sikap yang tepat untuk membuat proses pembelajaran berikutnya lebih baik ketimbang proses pembelajaran sebelumnya.
Melalui refleksi ini, guru dapat memaksimalkan implementasi kompetensinya di dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, yang dapat dirasakan oleh siswa tak hanya implementasi kompetensi profesional guru. Tetapi, juga implementasi kompetensi guru yang lain, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, maupun sosial.
Sehingga, siswa yang merindukan untuk diajar lagi oleh guru tertentu tak sebatas dengan mengatakan bahwa dirinya sudah jelas tentang pelajaran yang disampaikan oleh guru termaksud.
Sekalipun, gambaran ini lebih baik ketimbang guru yang sama sekali tak dirindukan oleh siswa untuk mengajar lagi. Karena, semua kompetensi yang harus dimilikinya, baik kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, maupun sosial, tak sedikit pun ada yang dirasakan oleh siswa.
Jika mau jujur, ada guru yang kurang diterima oleh siswa yang diampunya. Sebab, kondisi ini, sudah pasti, karena guru termaksud kurang memenuhi kompetensinya. Satu kompetensi pun belum dimiliki.
Bagaimana mungkin guru dapat memenuhi kebutuhan siswa jika satu kompetensinya pun tak dapat dirasakan oleh siswa yang diampunya? Jelas saja kalau tak ada ruang yang tersedia bagi guru ini di benak siswa.
Saya sendiri merasa perlu terus belajar. Sebab, sedih rasanya jika saya mendengar lagi ada siswa yang hanya mengatakan bahwa ia merasa jelas tentang pelajaran yang saya ajarkan --sebagai wujud keinginannya agar saya mengajar lagi di kelasnya-- karena saya sudah pindah mengajar di kelas lain. Ya, sedih!
Karena, jangan-jangan tak ada siswa lain yang memiliki rasa seperti rasa yang dimilikinya. Juga, jangan-jangan rasa adil, aman, nyaman, terhibur, dihargai, saling berbagi, dan berkolaborasi tak dirasakan oleh siswa saat saya membersamainya di dalam proses pembelajaran.
Jadi, sudah seharusnya tak cukup bagi guru, termasuk saya, merasa senang hanya sebatas karena ada siswa yang menyatakan bahwa ia sudah bisa alias mengetahui dengan jelas (tentang) materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Guru yang mau mengeksplorasi semua kompetensinya, baik kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, maupun sosial, untuk menyediakan ruang tumbuh kembang bagi siswa dalam proses pendidikannya adalah guru yang mungkin boleh merasa senang.
Sebab, siswa yang dibersamai (tentu) tak hanya mendapatkan pengetahuan. Tetapi, juga mendapatkan apresiasi, kenyamanan, perlindungan, keadilan, kebahagiaan, bahkan ruang tumbuh kembang untuk aktualisasi diri, yang memungkinkan karakter dan sikapnya terbangun secara optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H