Ujian Nasional (UN) dihapus karena disebut di antaranya membuat siswa merasa tertekan. Bahkan, juga stres, yang tak hanya dialami oleh siswa, yang notabene anak, tetapi juga oleh orangtua/wali siswa.
Dan, hingga saat ini, UN menjadi topik pembicaraan banyak pihak. Lebih-lebih saat pemerintah hendak memberlakukan UN pada 2026. Sekalipun disebutkan ada perbedaannya dengan UN yang sudah-sudah.
Termasuk Kompasiana.com pun mengangkatnya menjadi topik pilihan. Yang, kemudian, menarik banyak orang. Sekurang-kurangnya Kompasianer, untuk turut membicarakannya.
Mungkin ada Kompasianer yang menyoroti dari sisi siswa, orangtua, masyarakat awam, ahli pendidikan, guru, atau yang lainnya.
Saya, sebagai guru, menyorotinya berdasarkan pengalaman saya selama membersamai siswa. Saya dan banyak guru yang lain, setidak-tidaknya yang seumuran dengan saya, merasakan dan mengalami membersamai siswa, baik siswa yang pernah mengikuti UN maupun siswa yang tak mengikuti UN karena sudah dihapus.
Ada perbedaan atas keduanya. Di antanya adalah siswa yang mengikuti atau menghadapi UN memiliki semangat belajar yang tinggi. Sementara itu, siswa yang tak mengikuti atau menghadapi UN, semangat belajarnya rendah.
Selain itu, siswa yang mengikuti UN merasa memiliki beban. Saat mereka ditanya mengenai UN rerata jawabannya tak senang karena ada UN.
Sementara itu, siswa yang tak mengikuti atau menghadapi UN merasa santai. Saat mereka ditanya mengenai UN rerata jawabannya senang karena tak ada UN.
Tentu masih ada rasa dan sikap yang lain. Yang, cenderung bertolak belakang atas keduanya. Hanya, tinggal seperti apa kita menyikapinya.
Sebagai seorang guru, saya, jelas memilih ada UN. Sebab, dengan adanya UN, siswa lebih mudah dimotivasi untuk belajar ini-itu, mengerjakan tugas itu-ini, melakukan aktivitas begini-begitu, dan aktivitas lain yang sejenis.