Guru mengetahui persis kenyataan ini. Sebab, guru yang berhadapan langsung dengan siswa hampir setiap hari. Guru mengetahui satu per satu siswa memiliki semangat belajar atau tak memiliki semangat belajar.
Guru pun mengetahui bahwa sejak tak ada UN, semangat belajar siswa menurun. Entah hal ini diakui atau tak diakui oleh pihak lain, termasuk pihak yang berwenang dalam bidang pendidikan.
Yang pasti dalam perbincangan santai antarguru mengenai siswa, topik yang akhir-akhir ini sering muncul di antaranya adalah sebagian (besar) siswa kurang semangat belajar, siswa berdaya juang lemah, siswa kurang kritis, daya ingat siswa lemah, dan siswa kurang fokus.
Memang kenyataan seperti ini tak bisa serta merta dikaitkan langsung dengan tiadanya UN. Karena sangat mungkin disebabkan juga oleh faktor lain. Misalnya, yang kini sedang marak, yaitu longgarnya orangtua membolehkan siswa (baca: anak) menggunakan gawai.
Di satu sisi mereka tak memiliki kebutuhan yang harus dicapai dalam proses belajar. Sebab, sebagai siswa, tanpa syarat nilai pun, mereka dapat naik kelas, lulus, bahkan sebagian dapat diterima dengan begitu mudah di sekolah berikutnya.
Sementara di sisi yang lain mereka dimudahkan mendapatkan keseruan lewat gawai. Dan, keseruan ini yang tampaknya lebih mereka sukai. Sehingga, mereka dapat berlama-lama tenggelam dalam keseruan termaksud, yang rerata tanpa kendali orangtua.
Jadi, tiadanya UN, siswa menjadi begitu sukacita hingga melarutkannya dalam sikap menyederhanakan maksud sekolah. Sukacita ini tak bersifat edukatif. Karena, kurang menyeriusi mengenyam pendidikan. Bahkan, cenderung mengabaikan belajar.
Yang menyedihkan, semuanya ini kemudian "disempurnakan" dengan adanya siswa (baca: anak) memiliki kelonggaran menggunakan gawai. Tiadanya UN dan kelonggaran menggunakan gawai merupakan dua hal yang, diakui atau tak diakui, mengondisikan siswa kehilangan masa belajar.
Memang masih ada siswa yang memiliki sikap positif. Mereka masih memiliki semangat belajar yang tinggi. Mereka bijak dalam menggunakan gawai. Ini anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang memahami arti pendidikan.
Tetapi, adanya keprihatinan sebagian guru di berbagai tempat mengenai siswa, baik yang menyentuh ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif siswa, menandakan bahwa ada elemen bidang pendidikan yang perlu ditinjau ulang.
Bahkan, tak sedikit orangtua (sendiri) yang mengeluhkan kepada guru mengenai anaknya yang malas belajar. Juga mengenai anaknya yang sulit lepas dari gawai, sekaligus dampaknya, di antaranya, adalah sopan santun dan kepedulian yang menghilang dari anak.