Saya sebagai guru, juga sebagian teman guru, melihat fakta bahwa sejak tak ada ujian nasional (UN), siswa tak memiliki fase yang berbeda. Flat saja. Semestinya, fase yang berbeda dalam proses pendidikan itu ada.
Sebab, hampir dalam keberlangsungan hidup organisme, sebut saja, misalnya, manusia, ada fasenya. Ada fase lahir, fase hidup, lalu fase mati.
Dan, dalam setiap fase, atau antarfase, selalu ada tantangan. Tak mulus-mulus saja. Contoh, (ini kata bidan) saat bayi lahir dalam kondisi normal, pasti menangis. Sebab, semula berada di alam rahim, lantas berpindah di alam dunia. Dua alam ini memiliki kondisi yang berbeda.
Ketika berada di area pertemuan antara alam rahim dan alam dunia, di sinilah ujian fase ini dialami. Sehingga, si bayi menangis. Tetapi, setelah melalui ini, bayi mulai dapat beradaptasi dan mulai dapat menikmati alam yang baru.
Analogi ini mau menunjukkan bahwa seperti inilah sebenarnya anak yang mengenyam pendidikan. Harus ada fase-fase yang dilewati. Yang, di bagian tertentu ada tantangan yang harus diselesaikan dulu untuk memasuki fase berikutnya.
Guru yang hendak naik jabatan, misalnya, kini, harus melalui ujian, yang disebut dengan istilah uji kompetensi kenaikan jabatan (UKKJ). Di bagian ini ada soal-soal yang harus diselesaikan.
Dan, tentu saja harus mencapai nilai tertentu, seorang guru baru dapat memiliki syarat memasuki jabatan yang baru. Jika belum mencapai nilai tertentu yang dimaksud, ia tak dapat memiliki syarat memasuki jabatan baru.
Untuk bisa mencapainya, guru mempersiapkan diri. Saya, tentu juga guru-guru lain yang menghadapi UKKJ, sudah pasti belajar jika ingin mencapai nilai yang memenuhi syarat lulus. Nilai syarat lulus ini adalah kebutuhan.
Orang, siapa pun, termasuk siswa, jika memiliki kebutuhan pasti berusaha. Saat siswa diberi tahu akan ada ulangan, misalnya, mereka mempersiapkan diri.
Siswa yang tergolong malas sekalipun tetap tebersit ingin belajar. Apalagi siswa yang rajin. Sudah pasti belajar dengan sungguh-sungguh.