Karenanya, bolehlah mereka disebut sebagai penjaga dan perawat lingkungan. Sekalipun barangkali di antara mereka ada yang belum menyadari bahwa cara yang mereka tempuh merupakan langkah positif menjaga dan merawat lingkungannya.
Lagian dalam perjalanan, ini setidak-tidaknya yang dialami oleh siswa kami, mereka perlu berjuang. Mereka perlu berhati-hati. Sebab, di sepanjang jalan beraspal yang menuju ke lokasi sekolah kami tak tersedia jalur pesepeda.
Mereka harus berjuang menghindar dari lalu-lalangnya pengendara, baik pengendara mobil maupun motor. Tak dapat mereka bersepeda dengan bersenda gurau. Mereka harus berjajar satu-satu, beriringan. Sebuah pemandangan yang setiap pagi saya dapat melihatnya.
Dan, ini bentuk menghargai pemakai jalan lain. Agar, mereka pun, baik pengendara mobil maupun motor, juga dapat lancar menempuh perjalanan di jalan milik umum ini.
Sekalipun dalam relasi sosial di masyarakat, pesepeda lebih mendapat kekhususan. Umumnya, pesepeda selalu didahulukan oleh pengguna kendaraan bermotor.
Saat pesepeda berada di traffic light bersama dengan pengendara lain, misalnya, umumnya pesepeda diberi kesempatan berlalu terlebih dahulu saat lampu hijau menyala.
Kelompok siswa yang memiliki ketahanan dalam gaya hidup bersepeda saat pergi-pulang sekolah, dengan demikian, bolehlah dikatakan sebagai penyumbang pelestarian alam sekitarnya.
Kedua, sekolah masih memiliki siswa yang memilih gaya hidup sederhana sekalipun berada pada masa kehidupan yang serba modern. Tentu pada masanya, sepeda pernah menjadi benda mewah. Tetapi, dalam konteks masa kini, secara umum, sepeda menjadi sarana transportasi yang sederhana.
Maka, ada sebagian orang, termasuk anak-anak, tak mau menaiki sepeda ketika bepergian. Buktinya, kini, mulai banyak dijumpai anak, termasuk anak sekolah, yang sekalipun belum memiliki surat izin mengemudi (SIM), sudah memilih mengendarai motor.
Siswa kami, juga siswa di sekolah lain, yang masih bertahan dalam gaya hidup bersepeda saat pergi-pulang sekolah adalah siswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Sebab, mereka tak terpengaruh oleh budaya modern.
Siswa yang berjalan kaki karena lokasi rumahnya tak jauh dari lokasi sekolah termasuk siswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi pula. Sebab, mereka tak merasa malu dengan teman-temannya yang diantar jemput oleh orangtua atau kerabatnya. Atau, dengan teman-temannya yang bersepeda. Sebab, berjalan kaki telah menjadi pilihan mereka.