Sejatinya anak-anak sejak kecil bersikap inklusif. Mereka dapat bergaul dengan teman-teman yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka bermain berbaur dengan teman-temannya dalam keseharian dan bergembira bersama.
Dalam relasi demikian ini, anak-anak mengalami tumbuh kembang secara menyeluruh. Baik fisik maupun psikis. Mereka dapat bekerja sama. Mereka saling menerima.
Kita dapat melihatnya dalam lingkup anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di pendidikan anak usia dini (PAUD). Mereka tak memilih, tapi menerima semua teman.
Tak memedulikan laki-laki atau wanita. Tak memedulikan miskin atau kaya. Tak memedulikan Jawa atau Sunda. Tak memedulikan muslim atau nonmuslim. Mereka berkawan. Baik dan menyukacitakan.
Terbentuknya relasi yang baik ini dapat saja bersifat alami. Tanpa diajari oleh siapa pun. Oleh karena mereka berada dalam satu lingkungan, misalnya, dan tanpa disadarinya terbentuk relasi pertemanan.
Ini lebih banyak terjadi di lingkungan yang terbuka. Yang, antartetangga masih saling terhubung. Saat saya masih kanak-kanak, hidup di desa, hal anak-anak bermain saat sore hari selalu ada. Seperti sudah terjadwal.
Bermain kasti, bermain bentengan, bermain kelereng (bagi anak laki-laki), bermain pasaran (bagi anak wanita), dan bermain petak umpet mengakrabkan antaranak.
Pada masa kini, masih ada acara anak-anak bermain bersama. Tapi, memang sudah tak sebanyak seperti saat saya masih kanak-kanak. Di kampung tempat saya berdomisili, saat ini, masih dapat saya jumpai anak-anak bermain sepeda-sepedaan.
Hanya, bermainnya tak di lapangan. Tapi, di jalanan kampung. Mereka memutar-mutar di jalan kampung. Kadang mereka berhenti di bagian jalan tertentu.
Mereka berbincang-bincang dan bersenda gurau, lalu berkeliling lagi. Relasi mereka terlihat relatif akrab. Sekalipun selama sepeda-sepedaan, ada momen kejar-kejaran, tapi ini ekspresi kegembiraan mereka dalam kebersamaan.