Guru sebagai profesi yang menjadi tumpuan siswa dan orangtua siswa. Siswa berharap melalui pengalaman belajar yang difasilitasi oleh guru dapat meraih cita-citanya.
Pun demikian orangtua berharap penuh kepada guru. Agar, anak-anaknya menjadi siswa yang memiliki kompetensi, baik kompetensi kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
Hal ini tentu sudah disadari oleh guru. Sejak kali pertama memilih pendidikan guru, mereka sudah mengambil komitmen. Bahwa kelak mereka mengajar dan mendidik siswa. Sesuai dengan bidang ilmunya, ia memfasilitasi siswa memperoleh pengalaman belajar yang bermakna.
Oleh karena itu, relasi guru dengan siswa harus manis. Manis-pahitnya relasi guru dengan siswa tergantung guru. Sebab, guru sudah dibekali ilmu kependidikan saat kuliah.
Tak boleh ada pemikiran bahwa manis-pahitnya relasi guru dengan siswa tergantung siswa. Sebab, siswa yang berguru kepada sang guru. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) guru sudah jelas. Yaitu, mendidik dan mengajar siswa; sementara siswa belajar kepada guru.
Maka, dalam keadaan yang kurang kondusif pun, proses pembelajaran sudah seharusnya tetap berlangsung membahagiakan semua siswa. Tak terkecuali. Sebab, siswa satu dengan yang lain memiliki hak yang sama dalam mendapatkan layanan belajar.
Biasanya, keadaan kurang kondusif terjadi pada saat ada banyak kegiatan yang melibatkan siswa atau guru. Kegiatan yang melibatkan siswa, misalnya, kegiatan lomba. Lebih-lebih lomba yang melibatkan peserta secara kolektif.
Jika guru yang terlibat dalam kegiatan tak terlalu menjadi masalah. Sebab, tugas dari guru dapat diberikan kepada siswa. Toh, biasanya, siswa malah senang jika ada jam kosong. Ini tentu terarah kepada jam mata pelajaran (mapel) guru tertentu.
Tapi, jika siswa yang terlibat kegiatan, seperti sudah disebut di atas, umumnya dalam kegiatan lomba yang bersifat kolektif, dapat saja menjadi masalah bagi sebagian guru.
Sebab, tentang adanya lomba, sekolah tak main-main. Artinya, kalau mengikutkan siswa dalam lomba, sudah pasti sekolah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh.