Rasa, aroma, dan hangat tiwul yang kami nikmati pada sore yang sejuk Kota Salatiga membuat perut kenyang. Sebab, tiwul memiliki kandungan karbohidrat seperti halnya nasi. Jadi, makan tiwul setali tiga uang dengan makan nasi. Kenyang!
Tiwul yang sudah masak --seperti yang kami nikmati-- berwarna cokelat. Gula aren yang berada di tengah tiwul yang berbentuk gunungan dan kelapa parut, juga garam secukupnya, menambah rasa khasnya.
Anda yang pernah makan tiwul pasti sudah mengenalnya. Sekadar mencatat, bahan baku tiwul dari ketela pohon (singkong). Karenanya, pusat tiwul berada di desa. Karena terlahir di desa, saya familier terhadap tiwul. Saking familiernya, ketika melihat ada orang menjual tiwul, memori lama saya menguat. Sampai(-sampai) saya ingin segera menikmatinya.
Dan, terjawab sudah keinginan ini. Satu porsi habis, meskipun bersama istri. Sebagian besar, saya yang menghabiskan. Hingga tuntas. Selama kami menikmati tiwul di bangku besi, ada dua pembeli yang datang. Masing-masing membeli dua porsi tiwul. Dari enam porsi yang masih ada sore itu, tinggal dua porsi, akhirnya.
Selain satu porsi tiwul yang habis ternikmati, kami juga pesan gatot. Hanya, gatot, yang juga berbahan baku dari ketela pohon (singkong), tak kami nikmati di lokasi. Gatot akan kami nikmati di rumah. Gatot adalah penganan kukus, dibuat dari gaplek yang disayat kecil-kecil memanjang kemudian direbus dan dicampur dengan gula, dimakan dengan parutan kelapa (KBBI).
Kata Om penjual, sekalipun gatot sudah diberi kelapa parut dan juga garam secukupnya, tetap dapat dinikmati hingga sehari kemudian sebab kelapa parutnya sudah dimasak. Dan, pernyataan ini benar sebab sehari kemudian gatot masih enak saya nikmati. Rasa khasnya tak hilang.
Sembari menikmati tiwul, bincang-bincang terjadi di antara kami. Saya, istri, dan Om penjual. Beberapa hal dalam bincang-bincang sederhana termaksud, saya dapat mencatatnya seperti di atas, juga seperti berikut ini.
Om penjual tiwul mengatakan bahwa asal-muasal berjualan tiwul karena pada saat Covid-19, pada 2019, berjualan degan bakar mengalami surut. Disebutnya, degan bakar pernah mengalami masa-masa gemilang, yaitu pada saat Covid-19 merebak. Karena, oleh masyarakat diyakini bahwa degan bakar dapat menjadi obat. Tapi, lambat laun mulai surut seiring surutnya Covid-19.
Pada saat demikian, Om penjual tiwul berdiskusi dengan istri, yang asli dari Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari diskusi ini, dikatakannya, dalam pikiran istrinya muncul ide berjualan tiwul. Tepat sudah karena istri berasal dari daerah yang terkenal tiwulnya.
Ide ini yang kemudian mampu mengantarkan tiwul sebagai makanan khas desa menuju ke kota. Betapa tidak, Om penjual yang awalnya berjualan di Ambarawa, tempatnya berdomisili, dapat meluas ke daerah lain, yaitu Ungaran dan Salatiga.