Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tiwul, Makanan Khas dari Desa ke Kota

19 September 2024   10:46 Diperbarui: 19 September 2024   17:18 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1, Mobil untuk menjajakan tiwul yang berada di tepi jalan di dekat Polres Salatiga, Jawa Tengah.(Dokumentasi pribadi)

Sebetulnya sudah lama saya melihat ada tiwul yang dijajakan di atas mobil. Yaitu, di Salatiga, tepatnya di dekat lokasi Polres Salatiga, Jawa Tengah. Mobil itu cukup berhenti di pinggir jalan. Badan mobil hanya beratap, sementara bagian belakang, kiri, dan kanan dimodifikasi terbuka.

Jadi, sudah pasti pembeli dapat mengambil posisi dari tiga arah. Dari belakang, kiri, atau kanan. Tinggal memilih. Sayang, kali pertama mengetahui, saya tak dapat membeli. Saya hanya dapat memandang dari kejauhan.

Pada waktu yang berbeda saat saya datang lagi di Salatiga, seperti biasa, menjemput si sulung, di lokasi yang sama tak saya temukan penjaja tiwul. Padahal, saya berencana membeli.

Jadi, saya gagal hendak menikmati tiwul. Tiwul adalah penganan yang dibuat dari tepung gaplek, diberi gula sedikit, kemudian dikukus, dapat dimakan bersama kelapa parut yang telah diberi garam sedikit (KBBI).

Ilustrasi 2, Tiwul yang berbentuk gunungan, yang siap disantap.(Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2, Tiwul yang berbentuk gunungan, yang siap disantap.(Dokumentasi pribadi)

Beberapa hari yang lalu, saya baru dapat menikmatinya. Sebab, saat kami, saya dan istri, menjemput si sulung, ada penjaja tiwul. Kebetulan kami masih menunggu di sulung sehingga waktu ini kami manfaatkan untuk membeli tiwul.

Kami membeli satu porsi tiwul. Masih panas. Karena ternyata tiwul terus dipanasi di atas kompor gas yang dimodifikasi agar di atasnya dapat ditempatkan kukusan (anyaman bambu) untuk tempat tiwul. Saat ada pembeli, tiwul baru dikeluarkan dari kukusan dan disajikan.

Kami menikmatinya di lokasi penjualan. Kebetulan di lokasi itu ada bangku besi yang dipasang secara permanen oleh pemerintah setempat. Saya memastikan bahwa bangku ini dari pemerintah setempat sebab banyak bangku besi yang dipasang di beberapa trotoar jalan di Salatiga.

Duduk di bangku besi berdua sembari menikmati tiwul dan mengobrol dengan penjual tak terasa kami menghabiskan satu porsi. Satu porsi tiwul yang berbentuk gunungan (tumpeng) kami nikmati dengan menyendoknya dari ujung (atas) ke bawah. Terasa nikmat. Khas rasa tiwul terasa di lidah.

Masih sama rasanya dengan rasa tiwul kala saya masih anak-anak, puluhan tahun yang silam, di desa. Kala itu tiwul menjadi makanan yang biasa sehari-hari saya dan keluarga, saya rasa juga tetangga. Aromanya juga khas, tak tertandingi.

Rasa, aroma, dan hangat tiwul yang kami nikmati pada sore yang sejuk Kota Salatiga membuat perut kenyang. Sebab, tiwul memiliki kandungan karbohidrat seperti halnya nasi. Jadi, makan tiwul setali tiga uang dengan makan nasi. Kenyang!

Tiwul yang sudah masak --seperti yang kami nikmati-- berwarna cokelat. Gula aren yang berada di tengah tiwul yang berbentuk gunungan dan kelapa parut, juga garam secukupnya, menambah rasa khasnya.

Anda yang pernah makan tiwul pasti sudah mengenalnya. Sekadar mencatat, bahan baku tiwul dari ketela pohon (singkong). Karenanya, pusat tiwul berada di desa. Karena terlahir di desa, saya familier terhadap tiwul. Saking familiernya, ketika melihat ada orang menjual tiwul, memori lama saya menguat. Sampai(-sampai) saya ingin segera menikmatinya.

Dan, terjawab sudah keinginan ini. Satu porsi habis, meskipun bersama istri. Sebagian besar, saya yang menghabiskan. Hingga tuntas. Selama kami menikmati tiwul di bangku besi, ada dua pembeli yang datang. Masing-masing membeli dua porsi tiwul. Dari enam porsi yang masih ada sore itu, tinggal dua porsi, akhirnya.

Selain satu porsi tiwul yang habis ternikmati, kami juga pesan gatot. Hanya, gatot, yang juga berbahan baku dari ketela pohon (singkong), tak kami nikmati di lokasi. Gatot akan kami nikmati di rumah. Gatot adalah penganan kukus, dibuat dari gaplek yang disayat kecil-kecil memanjang kemudian direbus dan dicampur dengan gula, dimakan dengan parutan kelapa (KBBI).

Ilustrasi 3, Gatot yang siap dikemas dan siap juga untuk disantap.(Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3, Gatot yang siap dikemas dan siap juga untuk disantap.(Dokumentasi pribadi)

Kata Om penjual, sekalipun gatot sudah diberi kelapa parut dan juga garam secukupnya, tetap dapat dinikmati hingga sehari kemudian sebab kelapa parutnya sudah dimasak. Dan, pernyataan ini benar sebab sehari kemudian gatot masih enak saya nikmati. Rasa khasnya tak hilang.

Sembari menikmati tiwul, bincang-bincang terjadi di antara kami. Saya, istri, dan Om penjual. Beberapa hal dalam bincang-bincang sederhana termaksud, saya dapat mencatatnya seperti di atas, juga seperti berikut ini.

Om penjual tiwul mengatakan bahwa asal-muasal berjualan tiwul karena pada saat Covid-19, pada 2019, berjualan degan bakar mengalami surut. Disebutnya, degan bakar pernah mengalami masa-masa gemilang, yaitu pada saat Covid-19 merebak. Karena, oleh masyarakat diyakini bahwa degan bakar dapat menjadi obat. Tapi, lambat laun mulai surut seiring surutnya Covid-19.

Pada saat demikian, Om penjual tiwul berdiskusi dengan istri, yang asli dari Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari diskusi ini, dikatakannya, dalam pikiran istrinya muncul ide berjualan tiwul. Tepat sudah karena istri berasal dari daerah yang terkenal tiwulnya.

Ide ini yang kemudian mampu mengantarkan tiwul sebagai makanan khas desa menuju ke kota. Betapa tidak, Om penjual yang awalnya berjualan di Ambarawa, tempatnya berdomisili, dapat meluas ke daerah lain, yaitu Ungaran dan Salatiga.

Dalam seminggu, ia berjualan di tiga lokasi, yaitu Senin dan Selasa di Ambarawa; Rabu dan Kamis di Ungaran; Jumat, Sabtu, dan Minggu di Salatiga.

Khusus di Salatiga disebutkan bahwa ia dalam sehari, sejak sekitar pukul 08.00 sudah berjualan. Ada sebanyak 80 porsi yang dibawa. Usai berjualan disesuaikan dengan habis atau belumnya porsi tiwul yang dijual.

Tak sama pada setiap harinya. Pada hari tertentu pukul 12.00 WIB, tiwul sudah habis. Berbeda dengan saat kami membeli, waktu itu sudah sekitar pukul 17.00 WIB masih ada enam porsi tiwul yang belum terjual dari 80 porsi.

Tapi, dalam pengakuan Om penjual, kondisi demikian wajar. Kadang ramai kadang agak ramai. Tentang kondisi tak ramai dalam arti tak ada pembeli, tak disinggung. Sebab, diakuinya selama ia berjualan selalu ada yang membeli.

Ilustrasi 4, Om penjual melayani pembeli tiwul.(Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 4, Om penjual melayani pembeli tiwul.(Dokumentasi pribadi)

Berjualan tiwul, disebutnya bahannya, yaitu gaplek diambil secara khusus dari Gunung Kidul. Karena, ia harus datang langsung ke lokasi dan memilih gaplek yang baik. Hal ini sudah lima tahun dijalaninya. Tapi, adanya ekspansi berjualan dilakukan secara bertahap. Dari Ambarawa, Ungaran, hingga Salatiga.

Tiwul yang berasal dari desa, terutama desa sentra singkong, kini dapat ditemukan di kota-kota. Tiwul disukai oleh orang-orang yang tinggal di kota.

Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang dulunya tumbuh di desa, tapi saat dewasa bahkan tua hidup di kota. Sehingga, tiwul yang ketika masih berada di desa menjadi kudapan rutin, pada masa dewasa bahkan tua di kota menjadi makanan yang dirindukan.

Apalagi tiwul pada masa kini pun sudah jarang ada sekalipun di desa. Di desa tempat saya sewaktu kecil tinggal, misalnya, yang dulunya mudah didapatkan tiwul, kini tak lagi mudah. Tiwul sudah langka. Tak ada orang yang membuat gaplek.

Tapi, Om penjual masih dapat menemukan gaplek di Gunung Kidul secara mudah dan malah ia dapat memilih kualitas gaplek yang bagus. Ia membeli gaplek datang sendiri ke Gunung Kidul, seperti yang sudah disebutkan di atas, untuk menghindari kualitas gaplek yang buruk.

Gaplek sebagai bahan baku tiwul dan juga gatot yang diusung dari Gunung Kidul, yang (tentu saja) berpusat di desa dan ternyata dirindu oleh orang-orang yang hidup jauh dari desa menunjukkan bahwa tiwul juga gatot merupakan makanan khas desa yang menembus kota.

Saya yakin, hal demikian tak hanya seperti yang saya temukan di Salatiga. Sangat mungkin dapat juga ditemukan di kota-kota lain, baik kota kecil maupun kota besar.

Bahkan, barangkali tak hanya makanan khas desa, yang berupa tiwul dan Gatot. Sangat mungkin juga makanan khas desa jenis yang lain.

Kini, memang, makanan khas desa atau boleh juga disebut makanan tradisional dirindu oleh masyarakat desa yang hidup di kota, atau bahkan masyarakat yang terlahir di kota yang penasaran ingin mencicipinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun