Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gagal Diterima di Sekolah Idaman, Anak Perlu Direngkuh

19 Juli 2024   19:54 Diperbarui: 21 Juli 2024   09:45 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayah bicara dengan anaknya (digitalskillet via KOMPAS.com)

Masuk pertama sekolah hampir tiba. Pada saat itu banyak orangtua yang mengantar anaknya. Baik orangtua maupun anak merasakan kegembiraan. Apalagi menjadi bagian dari sekolah idaman.

Kegembiraannya pasti bertambah kala mengetahui ada banyak teman dari sekolah sebelumnya. Seperti lama tak jumpa, lalu berjumpa. Luapan kegembiraan terekspresikan sempurna.

Anak akan bertemu anak. Mereka, akan berkelompok. Membangun percakapan. Yang, mungkin agak dikontrol adalah bersenda gurau, pasalnya mereka berada di lingkungan baru.

Sementara itu, orangtua juga bertemu dengan orangtua. Ini terutama yang tak bekerja, entah karena izin tak masuk bekerja. Atau, memang berwiraswasta yang memiliki jam kerja bebas. Atau juga bagi kaum ibu sebagai ibu rumah tangga.

Mereka bercengkerama di halaman sekolah. Membentuk kelompok-kelompok. Yang, sangat mungkin memperbincangkan anak mereka. Seperti sedang merayakan keberhasilan. Dan, memang mereka tak keliru sebab mereka merayakan anaknya mendapat sekolah idaman.

Keadaan ini akan berbeda dengan anak-anak yang mendapat sekolah bukan sekolah pilihannya. Mereka pasti kehilangan kegembiraan. Kurang bersemangat ke sekolah. Dan, dapat dipastikan bahwa anak dalam kelompok ini pasti lebih banyak diam.

Yang, dapat saja sama persis dengan keadaan yang dialami oleh sebagian orangtua mereka. Menghindari percakapan alias diam. Dan, sangat mungkin begitu usai mengantar, mereka langsung pulang, meninggalkan area sekolah.

Maka, anak-anak dalam kelompok ini sangat membutuhkan pendampingan. Karena, sangat mungkin mereka memberontak terhadap keadaan yang dialaminya.

Saya pernah menghadapinya ketika si bungsu tak dapat diterima di sekolah idamannya. Ia sangat kecewa. Tak dapat menerima kenyataan yang terjadi atas dirinya.

Keadaan mentalnya sangat melemah. Tak mau berbicara. Yang terlihat atas dirinya adalah kesedihan dan kebencian. Kehilangan semangat. Keceriaan yang selalu saya jumpai pada hari-hari sebelumnya, saat ia merasa gagal, tak saya jumpai lagi.

Saya juga menjumpai salah satu mantan siswa, yang lulus tahun pelajaran 2023/2024, yang ke sekolah karena ada sesuatu yang diurus. Dalam waktu menunggu di lobi sekolah, ia duduk di bangku dalam keadaan menangis.

Saya mengetahui kemudian setelah mendekatinya dan mengajaknya bercakap-cakap, bahwa dirinya tak diterima di sekolah impiannya. Ia hanyut dalam kesedihannya. Saya akhirnya berusaha mengajaknya berbicara. Puji Tuhan, ia sangat terbuka.

Saya mendengarkan curahan isi hati dan pikirannya tentang kegagalannya masuk di sekolah impian. Semua tercurahkan dengan sangat jelas dan terbuka.

Sebagai seorang guru, saya mengajaknya untuk melihat ke depan. Bahwa yang terpenting bukan perihal diterima di sekolah mana. Tapi, memanfaatkan waktu yang menghampar panjang ke depan untuk menggali potensi diri.

Di mana pun sekolah, jika waktu yang ada dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menggali dan mengembangkan potensi diri, akan membawa hasil yang optimal. Bahkan, bukan mustahil dapat melebihi ekspektasi.

Atau, menikmati, mensyukuri, dan semangat diri terus mau belajar yang dapat menolong untuk mencapai impian, bukan bergantung sekolahnya. Sekolah hanya sebagai sarana untuk belajar. Itu saja.

Sehingga, di mana pun sekolah harus dijalani dengan spirit yang besar, bahkan menyadarinya itu sebagai pilihan Tuhan untuk kita. Dan, Tuhan tak pernah merencanakan kecelakaan bagi umat-Nya.

Sepertinya, ini senjata yang ampuh. Sebab, mantan siswa saya ini, terlihat dapat menerima. Bahkan, saat ia mengambil ijazah, yang kebetulan saya dapat menjumpainya, ia mengaku sudah merasa nyaman dan berdamai dengan realitas yang dihadapinya.

Ilustrasi orangtua berkomunikasi intim dengan anak, diambil dari www.haibunda.com
Ilustrasi orangtua berkomunikasi intim dengan anak, diambil dari www.haibunda.com

Nah, anak-anak yang merasa gagal, seperti yang pernah dialami oleh si bungsu dan salah satu mantan siswa saya dalam mendapatkan sekolah impian, saya yakini tak sedikit jumlahnya. Baik di jenjang pendidikan dasar maupun menengah.

Membiarkan mereka terus hanyut dalam kesedihan dan kekecewaan tentu bukan sikap yang mendidik. Sebab, mereka tentu akan semakin terpuruk. Dan, tak mungkin potensi dirinya tergali dan dapat berkembang.

Artinya, membiarkan mereka dalam kesedihan dan kekecewaan sama saja dengan membunuh karakter mereka. Yang, membuatnya tak memiliki keberanian melangkah optimis ke masa depan.

Itu sebabnya, sekolah dan orangtua yang memiliki kedekatan dengan anak harus bersikap secara positif. Melihat mereka dengan penuh perhatian dan sayang. Menerima mereka dengan sangat terbuka.

Sekolah, yang sekalipun bukan sekolah idaman mereka, harus menyambutnya dengan kegembiraan. Merengkuh mereka dengan syukur dan berterima kasih.

Dengan begitu, anak merasa dihargai keberadaannya. Ia merasa masih memiliki pihak-pihak yang sangat peduli. Ia masih melihat ada pihak-pihak yang memberinya ruang untuk berlindung.

Ini memang tantangan bagi sekolah. Sebab, sekolah harus mampu menyambut anak-anak yang sebenarnya menolak belajar di sekolah termaksud menjadi mau menerimanya. Mengubah benak mereka yang tak acuh terhadap sekolah menjadi acuh.

Memulainya dari guru dan karyawan sekolah yang ramah terhadap anak. Lingkungan yang memberi rasa nyaman terhadap anak. Pun demikian peserta didik terdahulu, yaitu kakak tingkatnya, memberi jaminan rasa aman terhadap mereka.

Selain itu, anak-anak harus mendapat layanan informasi, belajar, konseling, dan layanan yang lain yang semestinya ada di sekolah secara memuaskan. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh mereka perlu diberi bantuan.

Tapi, yang memiliki efek lebih terasa, saya pikir, peran positif orangtua. Jauh dari sikap arif jika orangtua memarahi anak ketika anak tak diterima di sekolah idaman karena dianggapnya anak tak bisa.

Orangtua justru perlu membangun komunikasi yang lebih intens. Yang, menandai bahwa orangtua menerima dengan sangat terbuka keadaan yang sedang dialami anak.

Sekaligus memberi motivasi positif. Bahwa sang anak tak sendiri. Ada orangtua dan saudara yang selalu membersamai. Untuk berjuang dalam meraih cita-cita. Bahkan, menghadapi tantangan pun, keluarga berada dalam kebersamaan.

Memang tak mudah membangun semangat anak dalam persoalan ini. Saya sendiri mengalaminya. Tapi, tak mudah bukan berarti tak dapat diatasi.

Selalu ada jalan yang dapat ditempuh untuk kebaikan sang anak. Yang penting, proses terus diikuti dengan sabar dan setia menjalin komunikasi intim dengan sang anak.

Mengajak anak berbagi cerita, misalnya, tentang lingkungan sekolah, teman-temannya, gurunya, dan hal-hal unik dan khusus di sekolah anak akan membantu memulihkan semangatnya. Sekalipun sedikit demi sedikit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun