Di tempat lain sebagian masyarakat menggunakan kompor gas untuk mengejar kepraktisan. Bahkan, jasa katering yang bernilai uang (tak sedikit) untuk perhelatan yang dilaksanakan. Yang, serba cepat dan tak ribet. Tinggal menikmati.
Tapi, sebagian masyarakat, termasuk rekan kami ini, tetap berada dalam penjagaan kearifan lokal.
Ibu-ibu yang memasak dan menyiapkan berbagai barang bawaan bagi tamu, sebuah kearifan lokal, yang masih terlihat oleh mata kami di sini. Mereka bergotong royong melakukan pekerjaan yang ada. Ada yang memasak dekat tungku. Ada yang sepertinya, menyiapkan lauk dan jajan untuk tamu.
Gotong royong ibu-ibu di dapur ini, saya rasa, gambaran sebenarnya masyarakat desa tempat rekan kami berasal. Seandainya di lokasi lain di desa ini ada perhelatan sejenisnya, kearifan lokal yang seperti ini sudah pasti tetap terjaga.
Saya pun yakin hal demikian masih juga terjadi di sebagian masyarakat di daerah lain. Di desa asal saya, yang berada di wilayah Pati, Jateng, misalnya, kadang juga masih saya jumpai.
Terutama di desa-desa yang jauh dari kota. Kearifan lokal masih kuat dalam mewarnai perhelatan dalam keluarga, baik pengantin, khitan, maupun saat kehamilan dan yang sejenisnya.
Tapi, ada juga kearifan lokal dalam tata pengantin yang hingga kini tetap dijaga meskipun diselenggarakan oleh orang-orang yang berada di kota dalam keluarga berpendidikan tinggi.
Bahkan, sekalipun pasangan pengantin dirias dengan ala barat, di daerah kami, sungkeman terhadap orangtua tetap dilakukan. Ini kearifan lokal yang justru tetap kuat menembus alam modern.
Ada satu kearifan lokal yang berbeda dengan yang sudah disebutkan di atas, yang kami jumpai di perhelatan nikah rekan kami ini. Justru awalnya kami tak mengetahui karena hal yang dimaksud berada di atas genting rumah.
Rekan kami, yang pengantin ini, menunjukkan kepada kami. Saya memfotonya. Dan, kami akhirnya memperbincangkannya meskipun tak serius.