Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernikahan (Modern) dalam Hegemoni Kearifan Lokal

17 Juni 2024   14:03 Diperbarui: 18 Juni 2024   19:22 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1: Sapu gerang, kipas, dan jajan pasar ditaruh di atas genting saat pernikahan di Demak, Jawa Tengah, 13/6/2024. (Dokumentasi pribadi)

Kami, saya dan beberapa rekan guru, menyumbang ke salah satu rekan guru yang menikah. Ia asli Demak, Jawa Tengah (Jateng). Kami dari Kudus, Jateng, ke Demak, tepatnya ke desa tempat tinggal rekan kami, dalam satu rombongan elf.

Menjelang memasuki desa ini, kami melewati persawahan. Jalan hanya cukup untuk satu mobil, tak mungkin untuk simpangan dengan mobil lain dari arah berlawanan, mengarahkan elf yang kami tumpangi ke lokasi.

Begitu tiba di lokasi, kami disambut dengan ramah. Oleh, rekan kami yang akan menikah, kedua orangtuanya, dan beberapa orang, mungkin saudara atau tetangga, yang tentu diminta untuk menjadi penerima tamu.

Kami diarahkan ke himpunan kursi yang melingkari meja penuh jajan, dekat dengan lokasi memasak. Karena, himpunan kursi yang melingkari meja yang berada di depan sudah penuh oleh tamu.

Tempat untuk memasak terbuka. Sehingga, tamu, terutama rombongan kami, dapat melihat secara leluasa aktivitas di dapur dari kursi-kursi kami duduk. Saya mengambil beberapa gambar. Sekadar untuk dokumentasi pribadi.

Ibu-ibu di dapur memasak ala tungku dengan memanfaatkan kayu bakar. Beberapa tungku terlihat menyala. Asap yang keluar dari tungku tak membuat sesak pernapasan kami. Sebab, asap dapat langsung tersebar bergerak ke atas, terbang ke angkasa.

Ilustrasi 2: Tungku bahan bakar kayu bakar untuk memasak jamuan bagi tamu. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Tungku bahan bakar kayu bakar untuk memasak jamuan bagi tamu. (Dokumentasi pribadi)

Ini bagian kearifan lokal yang tampaknya masih dipertahankan di tengah-tengah kehidupan modern. Rekan kami, yang pengantin ini, seorang sarjana. Pendidikannya ditempa di pusat kota provinsi. Tentu ia tak dapat menutup mata terhadap perkembangan zaman.

Pun demikian pasangannya, seorang wanita yang berpendidikan tinggi. Sama saja dengan rekan kami, ia tentu tak dapat menutup mata terhadap perkembangan zaman.

Bahwa hidup dan kehidupan mereka sudah terbiasa serba cepat. Tak ribet. Tapi, fakta yang ada di sekeliling mereka berdua masih sangat kuat kearifan lokal mendukung perhelatan pernikahan mereka.

Di tempat lain sebagian masyarakat menggunakan kompor gas untuk mengejar kepraktisan. Bahkan, jasa katering yang bernilai uang (tak sedikit) untuk perhelatan yang dilaksanakan. Yang, serba cepat dan tak ribet. Tinggal menikmati.

Tapi, sebagian masyarakat, termasuk rekan kami ini, tetap berada dalam penjagaan kearifan lokal.

Ibu-ibu yang memasak dan menyiapkan berbagai barang bawaan bagi tamu, sebuah kearifan lokal, yang masih terlihat oleh mata kami di sini. Mereka bergotong royong melakukan pekerjaan yang ada. Ada yang memasak dekat tungku. Ada yang sepertinya, menyiapkan lauk dan jajan untuk tamu.

Gotong royong ibu-ibu di dapur ini, saya rasa, gambaran sebenarnya masyarakat desa tempat rekan kami berasal. Seandainya di lokasi lain di desa ini ada perhelatan sejenisnya, kearifan lokal yang seperti ini sudah pasti tetap terjaga.

Ilustrasi 3: Ibu-ibu sedang bergotong royong melakukan aktivitas di dapur. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3: Ibu-ibu sedang bergotong royong melakukan aktivitas di dapur. (Dokumentasi pribadi)

Saya pun yakin hal demikian masih juga terjadi di sebagian masyarakat di daerah lain. Di desa asal saya, yang berada di wilayah Pati, Jateng, misalnya, kadang juga masih saya jumpai.

Terutama di desa-desa yang jauh dari kota. Kearifan lokal masih kuat dalam mewarnai perhelatan dalam keluarga, baik pengantin, khitan, maupun saat kehamilan dan yang sejenisnya.

Tapi, ada juga kearifan lokal dalam tata pengantin yang hingga kini tetap dijaga meskipun diselenggarakan oleh orang-orang yang berada di kota dalam keluarga berpendidikan tinggi.

Bahkan, sekalipun pasangan pengantin dirias dengan ala barat, di daerah kami, sungkeman terhadap orangtua tetap dilakukan. Ini kearifan lokal yang justru tetap kuat menembus alam modern.

Ada satu kearifan lokal yang berbeda dengan yang sudah disebutkan di atas, yang kami jumpai di perhelatan nikah rekan kami ini. Justru awalnya kami tak mengetahui karena hal yang dimaksud berada di atas genting rumah.

Rekan kami, yang pengantin ini, menunjukkan kepada kami. Saya memfotonya. Dan, kami akhirnya memperbincangkannya meskipun tak serius.

Sebab, di samping pada saat yang bersamaan kami menikmati soto, bakso, dan jajanan yang tersedia, perihal kearifan lokal yang ditunjukkan oleh rekan kami ini sebenarnya sering kami dengar. Bahkan, beberapa di antara kami juga mengetahuinya sekalipun dalam wujud yang berbeda.

Kearifan lokal yang ditunjukkan oleh rekan kami ini, yang tentu saja ia sudah mengetahui maksudnya, diletakkan di atas genting rumahnya (baca: orangtuanya). Wujudnya adalah, ini yang terlihat oleh kami dari bawah, sapu lidi yang sudah pernah dipakai (bahasa Jawa, sapu gerang) dan kipas anyaman bambu, sepertinya masih baru, bukan kipas gerang.

Sapu gerang dan kipas ditata berdiri. Ujung sapu gerang di atas, sementara tangkai kipas diposisikan di bawah. Yang sudah pasti diletakkan di alas tertentu. Yang ini saya lupa menanyakannya.

Tapi, dapat saja alas itu berupa bentuk tertentu dari anyaman bambu atau barang yang sejenisnya yang dapat digunakan untuk menata sapu gerang dan kipas agar dapat berdiri tegak.

Dikatakan oleh rekan kami ini, selain ada sapu gerang dan kipas, ada juga jajan pasar. Maka, alas dari tampah sepertinya lebih tepat. Saya dari bawah hanya dapat memotret sebagiannya yang kelihatan, yaitu sapu gerang dan kipas. Sedangkan, jajan pasarnya tak kelihatan. Apalagi alasnya.

Entah benar entah salah, ini yang dikatakan oleh rekan kami, sang pengantin, tentang kearifan lokal yang termaksud, yang berupa sapu gerang, kipas, dan jajan pasar ditaruh di atas atap rumah. Yaitu, untuk tolak bala.

Setidak-tidaknya, dikatakannya demikian saat itu, agar tak terjadi hujan. Memang, saat itu panasnya bukan kepalang.

Ya, kearifan lokal, ternyata, masih memiliki kekuatan yang masih dijaga oleh sebagian masyarakat dalam perhelatan pernikahan. Baik pernikahan ala lama maupun modern. Juga, seperti sudah disebutkan di atas, dalam perhelatan yang lain yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun