Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

FLS2N, Ajang Menghargai Siswa Berkarya

3 Mei 2024   01:01 Diperbarui: 3 Mei 2024   07:12 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Siswa sedang berlatih untuk ambil bagian dalam lomba. (Dokumentasi pribadi)

Belakangan ini di daerah sedang berlangsung Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Ada banyak cabang lomba yang diikuti oleh siswa.

Siswa mewakili sekolah masing-masing. Sekolah sudah menyiapkan siswanya secara maksimal. Siswa di  sekolah tempat saya mengajar, misalnya, dipersiapkan oleh guru yang membimbing.

Siswa yang dibimbing adalah siswa yang sudah dipilih berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Satu siswa mengikuti satu cabang lomba. Sehingga, siswa dapat fokus terhadap cabang lomba yang diikuti.

Dalam hal ini, siswa mengerti betul kompetensinya. Guru pembimbing juga mengerti betul kompetensi siswa yang dibimbingnya.

Ini artinya ada  sikap menghargai kompetensi. Yaitu,  siswa menghargai kompetensinya (sendiri). Pun demikian guru pembimbing menghargai kompetensi siswanya.

Keduanya, baik siswa maupun guru, memiliki semangat yang sama dalam menghargai kompetensi. Karenanya, mereka memiliki semangat mempersiapkan diri untuk lomba. Siswa, sebagai pihak yang dilatih, siap secara fisik, psikis, dan waktu. Demikian juga guru pembimbing. Pun siap secara fisik, psikis, dan waktu.

Karenanya, sering siswa harus berbagi waktu. Waktu untuk berlatih dan juga waktu untuk tetap dapat belajar. Kedua tanggung jawabnya diusahakan tetap dapat berjalan. Sekalipun harus diakui, ada kalanya di antara keduanya ada yang agak terganggu.

Waktu untuk belajar sering agak terganggu. Karena, umumnya, siswa yang bersangkutan mengadakan latihan pada pagi hari --saat siswa sekolah. Siswa tak mengikuti jam pembelajaran. Untung, kondisi ini sudah dimengerti oleh semua guru.

Jadi, ketika guru mengajar tak menjumpai siswa yang bersangkutan di kelas, guru sudah mafhum. Siswa sedang latihan di ruang lain untuk FLS2N. Semua siswa dalam satu kelas juga sudah mengerti bahwa temannya sedang persiapan FLS2N.

Karenanya, guru tak akan memberi label buruk terhadap siswa ini. Sebab, tradisi seperti ini sudah berlangsung sejak dulu. Selalu demikian setiap musim FLS2N dan lomba sejenisnya. Beberapa siswa yang mewakili sekolah seakan memiliki keistimewaan.

Teman satu kelas pun tak ada yang iri. Sekalipun satu atau lebih teman mewakili sekolah dalam FLS2N dan harus sering meninggalkan jam pembelajaran, tak ada yang protes. Mereka sudah mengerti.

Siswa yang turut FLS2N tak semuanya cerdas di bidang akademik. Tapi, mereka pasti terampil di cabang FLS2N yang diikuti. Artinya, siswa ini cerdas di bidang ini.

Karenanya, sangat patut siswa di bidang ini diapresiasi. Apalagi ia sudah mengusahakan secara maksimal dalam menghadapi FLS2N. Sampai-sampai ia sering  meninggalkan jam pembelajaran untuk latihan.

Persiapan yang dilakukan ini untuk berkompetisi memperjuangkan prestasi sekolah. Dalam kompetisi ada kalah, ada menang. Jika menang, tak perlu ditanya. Sudah pasti dielu-elukan alias disanjung. Ini penghargaan yang membanggakan bagi siswa.

Jika pun belum menang, sebetulnya sama saja, siswa harus tetap dihargai. Agar kebanggaan tetap dimilikinya. Sebab, yang dihargai semestinya bukan perihal hasilnya. Tapi, karena siswa sudah berkarya.

Sebab, siswa dalam proses berkarya membutuhkan energi yang justru sangat banyak dalam durasi yang panjang ketimbang saat lomba. Maka, latihan merupakan momen siswa berkarya yang sesungguhnya.

Apalagi dalam momen ini justru ada banyak pengaruh. Yang bukan mustahil karena adanya pengaruh buruk, misalnya, siswa tak teguh dalam berproses, yang akhirnya dapat saja "berhenti".

Tak menjalani proses yang seharusnya memang dilakukan. Sehingga, tak jadi turut lomba. Tapi, sayang, proses berkarya ini sering dilupakan oleh sekolah.

Sebab, sering sekolah lebih memandang hasil. Ikut lomba targetnya menang. Jika tak menang berarti tak memberikan hasil. Pandangan ini wajar saja sebetulnya.

Karena, hampir dapat dipastikan semua sekolah memegang sudut pandang ini. Dimengerti, melalui kemenangan yang diraih siswa dalam lomba, nama sekolah terangkat di tengah-tengah masyarakat.

Dan, ini berdampak terhadap derajat sekolah meningkat. Derajat sekolah yang meningkat menjadi magnet yang dapat menarik masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah termaksud.

Sudut pandang yang seperti ini sudah seharusnya tak digunakan lagi. Sebab, seperti sudah disebutkan di atas, proses berkarya lebih menguras energi dan waktu siswa.  

Bahkan, jika boleh disebutkan dalam berproses (sebenarnya)  tercatat secara utuh jejak kompetensi siswa. Dan, ini hanya didapatkan di sekolah masing-masing. Tak ditemukan di ajang FLS2N atau lomba-lomba yang lain.

Di ajang ini hanya ditemukan penghargaan bagi siswa tertentu, yang sangat terbatas jumlahnya. Padahal, semua siswa yang ambil bagian dalam lomba sudah pasti melalui persiapan yang membutuhkan energi yang tak sedikit.

Seusai lomba selalu menyisakan dua suasana hati. Siswa, guru, atau  sekolah yang meraih kemenangan selalu memiliki suasana hati yang riang gembira. Sementara itu, siswa, guru, atau sekolah yang belum meraih kemenangan bersuasana hati yang sedih.

Maka, keadaan ini sudah harus ditinggalkan. Baik yang meraih kemenangan maupun yang belum meraih kemenangan berhak mendapatkan penghargaan. Yaitu,  penghargaan dari sekolah bagi guru yang membimbing. Juga penghargaan dari guru dan sekolah bagi siswa yang sudah berproses dalam karya.

Sebab, sejatinya, kemenangan dalam lomba adalah bonus bagi siswa yang sudah melakukan proses berkarya. Kalau kemudian ada siswa yang lomba belum mendapat bonus bukan berarti siswa yang bersangkutan tak memiliki kompetensi di bidangnya.

Sekolah sudah memilihnya sebagai duta dalam lomba berarti siswa termaksud adalah siswa yang terbaik di sekolah. Maka, sekolah, guru, dan siswa tetap harus merayakan "perjuangan" yang dimulai sejak siswa melakukan proses berkarya.

Cara ini dipastikan mampu menjaga semangat siswa tetap membara. Meskipun, dirinya belum mendapat bonus yang dapat diserahkan kepada sekolah.

Ingat, kemenangan yang sejati (sebenarnya) diperoleh ketika semangat siswa tetap terjaga. Karena,  perjalanan siswa ke depan masih sangat panjang. Yang, masih memungkinkan ada peluang baginya  untuk meraih bonus karena setia dalam proses berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun