Toh, Chairil dalam puisi ini memang menyebut "Kepada Nasrani sejati". Artinya, puisi "Isa" yang ditulisnya ini ditujukan kepada (hanya) penganut Nasrani (sebutan bagi orang Kristen) yang sejati, tak untuk penganut kristiani yang kurang atau tak sejati.
Maka, dalam perenungan saya yang miskin, atau justru tak memiliki intuisi ini, Chairil melalui puisi "Isa" sungguh dalam (baca: mendalam) dan utuh menghayati penyaliban Yesus. Chairil seperti orang yang begitu dekat pribadi Yesus.
Sampai(-sampai) Chairil menjumpai kesukacitaan, seperti yang terekspresikan lewat larik ini, //aku bersuka//. Dalam terminologi Kristen, kesukacitaan identik dengan kebangkitan Yesus. Karena, kebangkitan Yesus membuahkan kesukacitaan bagi umat-Nya. Yaitu, mereka dibebaskan dari belenggu dosa.
Dalam pikiran saya, Chairil, kok, sampai sedemikian menghayati peristiwa penyaliban Isa yang Yesus, atau Yesus yang Isa. Tak hanya menyiratkan kesengsaraan dan kematian-Nya, tapi juga menyiratkan kebangkitan-Nya.
Jadi, puisi "Isa", sebetulnya, dapat dibacakan di gereja saat Jumat Agung dan Minggu Paskah. Penganut kristiani dapat belajar banyak dari Chairil Anwar yang muslim dalam menghayati kisah penyaliban Yesus yang Isa atau Isa yang Yesus. Selamat menikmati buah-buah Paskah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H