Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KUA Inklusi, Laboratorium Toleransi Beragama bagi Anak

20 Maret 2024   13:25 Diperbarui: 20 Maret 2024   13:35 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari jurnalpost.com

Gagasan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, tentang kantor urusan agama (KUA) yang direncanakan untuk mengoordinasikan urusan semua agama (Kompas.id, 29 Februari 2024), ternyata  masih menjadi diskusi publik.

Sebab, selama ini, kita mafhum bahwa KUA hanya digunakan untuk, misalnya, urusan pernikahan umat Islam. Umat yang lain mengurusnya di kantor Dinas Kependudukan dan  Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Jadi, kalau kini, KUA digagas untuk urusan semua agama, ada "sesuatu" yang berubah.

Perubahan, termasuk perubahan KUA untuk urusan semua agama, memungkinkan membawa dampak, baik pro maupun kontra, terutama bagi generasi dewasa.

Sebab, generasi dewasa cenderung memiliki sudut pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang masing-masing. Hal demikian tak sepenuhnya keliru. Sah-sah saja. Apalagi di alam keterbukaan berpikir dan berpendapat seperti saat ini.

Hanya, memang, dipandang dari sudut pandang generasi muda, khususnya anak-anak, gagasan Menteri Agama tersebut justru dapat digunakan sebagai laboratorium (pendidikan) toleransi beragama bagi anak.

Anak-anak yang masih mudah dibentuk, sangat perlu mendapat pengalaman yang dapat membangun sikap mereka terbuka bagi semua. Sebab, faktanya, hidup di masyarakat berhadapan dengan semua yang ada, yang cenderung berbeda satu dengan yang lain.

Terhadap adanya perbedaan, anak diarahkan  dapat menerima. Kalau orang lain berbeda dengannya, misalnya, ada upaya memersuasinya untuk menghargai. Sehingga, anak memandang bahwa berbeda itu boleh, bahkan (perlu) saling menghargai.

Maka, adanya gagasan KUA inklusi (untuk semua agama) akan menjadi ruang pembentuk sikap anak mengenai berbeda itu boleh dan (perlu)  saling menghargai.  

Karena, pada saat tertentu sangat mungkin dapat disaksikannya, misalnya, ada pasangan pengantin yang beragama Islam. Pada saat yang lain dapat dilihatnya ada pasangan pengantin yang beragama Budha. Pada waktu yang lain lagi, dilihatnya pasangan pengantin yang beragama Katolik. Dan, begitu seterusnya, begitu seterusnya.

Keragaman seperti hal di atas dan adanya proses (yang terjadi) yang dapat dilihat di KUA tentu membentuk sikap positif anak terhadap adanya perbedaan itu.

Tapi, tentu hal demikian diawali terlebih dulu sikap positif generasi dewasa. Sebab, generasi dewasa akan menjadi tempat anak bertanya.

Intinya, gagasan Menteri Agama mengenai KUA inklusi perlu mendapatkan respon positif terlebih dulu dari generasi dewasa. Perubahan peruntukan KUA yang semula hanya untuk kepentingan umat Islam, lalu untuk semua umat dalam urusan keberagamaan, tentu memantik pikiran yang berbeda satu terhadap yang lain.

Di poin ini sudah semestinya generasi dewasa memikirkan generasi anak (baca: generasi mendatang), tak melulu memikirkan kepentingan dirinya (baca: generasinya)  saat ini. Yaitu, memikirkan tumbuh kembang anak ke depan yang (akan) hidup di alam yang semakin global, yang adanya keberagaman sebagai sebuah keniscayaan.

Menjaga iman dan keyakinan anak tetap dapat tumbuh di antara perbedaan yang ada membutuhkan peran generasi dewasa. Generasi dewasa yang membekali anak agar mereka dapat survive di tengah kehidupan yang semakin mengglobal dan beragam.

Maka, kalau sejak gagasan KUA inklusi tersebut dicetuskan hingga kini masih menjadi diskusi publik, hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya membangun toleransi dalam kehidupan bermasyarakat yang mengglobal dan beragam.

Yang, memang, bangunan toleransi yang kini sudah ada masih perlu (untuk) dikuatkan lagi. Membiarkan bangunan toleransi yang sudah ada tanpa membuat lebih kuat lagi tentu saja kurang arif. Sebab, faktanya, seperti sudah disebutkan di atas, kehidupan masyarakat semakin mengglobal dan beragam.

Keberagaman agama adalah salah satunya. Jadi, adanya gagasan KUA inklusi oleh Menteri Agama  bukan mustahil karena memandang bahwa keberagaman agama yang termasuk kekayaan bangsa, bahkan kekayaan dunia, itu adalah kekayaan yang perlu dirawat, dijaga, dan dihargai bersama.

Perihal ini perlu dikenalkan kepada anak sejak dini. Agar tumbuh kembang mereka terwadahi dalam ruang relasi yang luas dan terbuka, untuk memasuki alam kehidupan mereka ke depan.

Karenanya, ketika kelak KUA inklusi terwujud, generasi dewasa menjadi narasumber tentang kebersamaan hidup dalam masyarakat yang beragam bagi anak. Sehingga, anak akan menerima dengan sukacita dan terbuka ketika nanti dilihatnya di KAU ada penampakan aktivitas keberagamaan yang berbeda.

Misalnya, disebutkan sekali lagi, kini ada aktivitas pernikahan umat Kristen, besok ada aktivitas pernikahan umat Konghucu, terus besoknya lagi ada acara pernikahan umat Islam, anak mendapat pengalaman belajar yang bermakna dalam hidup bersama di masyarakat yang berbineka.

Ini yang saya maksudkan bahwa KUA inklusi dapat menjadi laboratorium (pendidikan) toleransi beragama bagi anak. Karena ketika anak melihat fakta seperti tersebut di atas dan generasi dewasa menjadi narasumber secara arif, diakui atau tidak, lambat laun anak akan memiliki sikap yang inklusif.

Mereka akan menjadi generasi penerus yang membawa bangsa ini ke depan mengalami kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Sebab, ke depan bangsa ini (akan) dipimpin oleh generasi yang dapat menghargai perbedaan yang memang tumbuh, berkembang, dan menyejarah di Indonesia.

Keragaman beragama merupakan kekayaan bangsa yang paling membutuhkan ruang untuk  selalu dapat saling bertemu. Sebab, beragama berkaitan dengan keyakinan dan keimanan yang bersifat pribadi. Yaitu, pribadi berhubungan dengan penciptanya.

Dengan adanya KUA inklusi, ruang untuk dapat saling bertemu di antara yang berbeda telah tersedia. Yang, disadari atau tidak, dalam pikiran dan hati setiap pribadi yang  terlibat dan melihat mengalami proses dialog (batin).

Termasuk di dalam pikiran dan hati setiap pribadi atau kelompok anak yang terlibat dan melihat juga mengalami proses dialog (batin). Proses ini yang, sekali lagi seperti yang sudah disebutkan di atas, akan membentuk sikap inklusi anak.

Nah, karena keberadaan KUA ada di setiap kecamatan  yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, maka penguatan sikap toleransi, terutama toleransi keberagamaan, dapat dialami oleh banyak anak. Sekalipun di masing-masing daerah memiliki dinamika yang berbeda.  

Melalui ikhtiar ini, sekurang-kurangnya, generasi dewasa sudah memulai menanam investasi hidup aman, damai, dan sejahtera bagi generasi muda pemegang masa depan bangsa, kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun