Dalam praktik baik, siswa secara berkelompok mengumpulkan sampah organik. Lalu, menanganinya dengan cara memotong-motong sampah tersebut dalam ukuran yang lebih kecil. Lalu mencampurnya dengan sedikit kompos yang sudah disiapkan.
Berikutnya, memasukkan campuran tersebut ke dalam alat, yang dibuat dari perpaduan keranjang plastik dan kardus, untuk proses pengomposan. Ditunggu dalam waktu lebih kurang satu minggu, lalu dibuka dan jadilah kompos.
Terakhir, kompos dikemas. Saat ada gelar karya P5, kompos yang sudah dikemas tersebut dipamerkan. Dan, tanpa disangka ada beberapa orangtua/wali siswa yang membeli. Karena memang dalam acara pameran tersebut, kompos juga dipasarkan.
Bahkan, dalam proses berikutnya, hasil pengomposan dapat dimanfaatkan oleh sekolah (sendiri) untuk memupuk tanaman yang ada di lingkungan sekolah. Ini justru yang menarik karena keberlanjutan terus dapat terjaga.
Di dalam semua proses dan tahap yang dialami oleh siswa, baik saat dibersamai oleh guru maupun narasumber, semakin memberi kesadaran kepadanya bahwa sampah, yang sangat dekat dengan gerak kehidupan manusia, tak perlu disia-siakan.
Tapi, diberi ruang di dalam hati, kreasi, inovasi, dan aksi karena faktanya sampah memiliki nilai bagi kehidupan, baik bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang ada di bumi ini.
Epilog
Proses yang sudah dan terus dilakukan di sekolah kami, sudah pasti dilakukan  juga di sekolah-sekolah lain. Sebab, sekolah tentu menyadari bahwa sampah, baik anorganik maupun organik, bagian dari kehidupan manusia yang membutuhkan pengelolaan.
Kalau setiap sekolah dari Sabang sampai Merauke; dari Rote hingga Miangas, melakukan pengelolaan sampah dengan baik, maka, upaya tersebut memberi sumbangsih bagi alam Indonesia.
Memang tak seberapa kami memberi sumbangsih dalam menjaga lingkungan dari limbah domestik. Karena, kami hanya melakukan langkah kecil di lingkungan sekolah. Sangat kecil. Sementara, di luar sana sampah domestik dan persoalannya begitu besar.