Guru pada masa kini tak jarang dihadapkan terhadap persoalan siswa berpacaran. Mungkin tak terlalu mengganggu kalau siswa berpacaran di luar lingkungan sekolah. Sebab, yang demikian --tentu ketika tak mengenakan simbol sekolah-- Â tak ada kaitannya dengan peran guru.
Tapi, jika ditemukan ada siswa berpacaran di lingkungan sekolah, tentu saja guru memiliki peran. Sebab, hal ini bagian dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) guru. Yaitu, terkait dengan pembinaan perilaku siswa.
Sekalipun, perlu disadari bahwa perilaku siswa berpacaran, baik di luar maupun di dalam lingkungan sekolah, tak semata-mata kegagalan guru di dalam membina perilaku siswa. Sebab, guru hanya sebatas dapat menjangkau siswa ketika siswa masih berada di dalam jam sekolah.
Jam sekolah adalah waktu siswa berada di sekolah mengikuti pembelajaran, termasuk waktu istirahat. Pun termasuk waktu-waktu jeda setelah ada kegiatan sumatif, misalnya.
Sebetulnya, siswa berpacaran, tak terjadi pada jam sekolah. Pada jam-jam sekolah, mereka pasti menjaga diri masing-masing. Agar, tak terlalu mencolok mata. Baik mencolok mata di hadapan teman-temannya maupun (apalagi) di hadapan guru.
Sangat kecil kemungkinannya mereka berpacaran pada waktu jeda setelah sumatif. Sebab, kalaupun ada class meeting pada waktu jeda setelah sumatif, tak semua siswa sibuk berkegiatan class meeting. Ada kalanya peserta class meeting hanya perwakilan kelas sehingga masih ada sebagian (besar) siswa yang tak mengikuti.
Dengan demikian, masih ada banyak pasang mata yang dapat melihat kalau-kalau ada di antara siswa berpacaran. Maka, dipastikan tak ada siswa yang berani berpacaran pada jam-jam  sekolah, baik saat istirahat, waktu jeda, maupun (apalagi) saat pembelajaran.
Tapi, bukan berarti tak ada waktu bagi mereka berpacaran di sekolah. Selalu saja orang, termasuk siswa, yang memiliki niat tertentu memiliki cara yang cermat membaca situasi dan kondisi.
Nah, ternyata, saat bel tanda pulang dibunyikan, siswa yang memiliki niat berpacaran, memanfaatkan waktu ini untuk berpacaran, tentu saja ketika situasi sudah sepi siswa dan guru.
Maka, tepat sudah jika ada kebijakan sekolah, yang ketika saat bel tanda pulang, semua pintu ruang kelas ditutup. Sebab, dapat saja mereka mencari tempat yang menurutnya aman dari mata orang lain.
Tapi, ternyata, tak mesti di ruang kelas, dapat saja di lokasi yang lain di lingkungan sekolah yang dipandang aman.
CCTV sudah dipasang di beberapa titik di lingkungan sekolah. Tapi, posisi CCTV pun tetap menjadi bagian yang dicermati sehingga niat berpacaran tetap dapat dilakukan.
Itulah niat berpacaran yang dapat saja tumbuh di hati siswa. Yang, dapat saja ditemukan dalam diri siswa di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan yang sederajat dan di tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat. Siswa di tingkat sekolah dasar (SD) dan yang sederajat? Semoga tak ada!
Berpacaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya menjalin hubungan cinta kasih dengan lawan jenis, tetapi belum atau tidak terikat perkawinan.
Dalam konteks relasi siswa, duduk berduaan lawan jenis dan bercengkerama, tanpa ada teman yang membersamai, sudah diisukan berpacaran. Isu itu pasti cepat ramai menyebar di kalangan siswa.
Bahkan, mereka duduk berdekatan bercengkerama di dalam ruang kelas yang saat itu banyak siswa (lain), dapat saja ditengarai mereka berpacaran. Bahkan, sangat mungkin dalam kasus yang demikian menimbulkan rasa tak nyaman di kalangan siswa (lain). Sehingga penyebarannya justru semakin cepat di kalangan siswa.
Apalagi kalau waktu usai pembelajaran, saat siswa yang lain sudah pulang, mereka berduaan di lokasi yang agak tersembunyi dari pandangan mata, sudah pasti perilaku tersebut berpacaran.
Guru yang menemukan siswa berpacaran di sekolah, seperti itu, tentu saja tak membiarkannya. Tanggung jawab moral yang mendorong guru mengajak siswa bersangkutan berkomunikasi mengenai perihal perbuatannya.
Tentu ini sifatnya tertutup. Artinya, ketika membangun komunikasi dipastikan tak ada orang lain, apalagi siswa lain, yang mengetahui. Kalaupun ada pihak lain, sangat terbatas.
Yaitu, pihak yang memiliki keterjalinan dalam pembinaan siswa, misalnya, guru Bimbingan dan Konseling (BK), Wali Kelas, Pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS), dan Kesiswaan dapat ambil bagian di dalamnya.
Selepas terjalin komunikasi, diharapkan pada waktu-waktu selanjutnya tak terjadi lagi perilaku serupa pada diri siswa bersangkutan. Dalam prediksi siswa telah memahami dan menyadari bahwa masa depannya membutuhkan sebuah perubahan perilaku.
Namun, jika sebaliknya siswa tetap melakukan hal  serupa, guru perlu mengomunikasikan  hal ini kepada orangtua siswa. Agar, orangtua siswa ikut juga memberi ruang dialog untuk anaknya. Sebab, peran orangtua  dalam hal termaksud sangat dibutuhkan.
Betapa tidak, jangkauan orangtua memberi perhatian  terhadap anak sangat luas dan dalam. Karena, orangtua bertemu dengan anak dalam waktu yang relatif panjang dan kualitas perjumpaan yang lebih bermutu  --terkait pembentukan perilaku-- ketimbang dengan guru.
Guru tak perlu langsung kecewa kalau orangtua memiliki respon yang tak sesuai ekspektasinya. Sebab, sangat mungkin orangtua sudah mengetahui bahwa anaknya berpacaran dengan si X, misalnya.
Sering-sering (justru) orangtua telah memberikan (semacam) izin kepada anaknya untuk memiliki relasi tak sekadar teman, tapi teman khusus, terhadap anaknya dengan teman sekolah.
Toh, jika mereka sudah duduk di bangku SMA atau yang sederajat, ada bagian tanggung jawab orangtua yang malah berubah menjadi lebih ringan. Misalnya, dalam mengantar dan menjemput anaknya saat pergi dan pulang sekolah. Aktivitas ini tentu diambil alih oleh si X, teman khusus anak gadisnya.
Tentu ini bukan alasan yang mendorong orangtua mengizinkan anaknya berpacaran, sekalipun mungkin ada (juga). Yang pasti, masing-masing orangtua memiliki alasan yang dapat saja berbeda. Dan, perihal ini sah-sah saja, bahkan alasan apa pun itu.
Karenanya, guru tak memiliki alasan, misalnya, untuk memisahkan hubungan mereka (baca: siswa) oleh karena saking eman-nya (sayangnya). Sebab, siswa memiliki hak pribadi yang harus dihargai. Apalagi kalau orangtua (sendiri) telah menyetujui hubungan anak gadisnya dengan pacarnya, si X.
Hanya memang, perlu ada upaya membina agar hak pribadi itu tak berdampak buruk terhadap dirinya, lebih-lebih terhadap orang lain. Karena, sering juga, siswa, yang masih usia belia sekaligus pengalaman terbatas itu, kurang dapat melihat hak orang lain.
Hal itu, sebetulnya, merupakan fenomena yang wajar (saja) sebab tak hanya siswa, yang masih usia belia itu, orang-orang dewasa pun tak jarang, yang konon katanya sudah banyak makan asam-garam, kurang dapat juga memahami bahwa orang lain memiliki hak yang harus dihargai.
Maka, guru tak perlu mengurungkan maksud mengomunikasikan perilaku berpacaran siswanya kepada orangtua. Sebab, dapat saja perilaku berpacaran siswanya itu belum diketahui oleh orangtuanya.
Toh fenomena tentang sebagian anak kelihatan alim di hadapan orangtua, tapi berbeda dengan ketika ia berada jauh dari orangtua, sering ditemukan. Jadi, guru berbagi informasi tentang siswanya (secara objektif) kepada orangtua siswa merupakan langkah yang perlu selalu dibangun.
Karena memang tanggung jawab mendidik anak  tak sepenuhnya berada di pundak guru. Orangtua juga memiliki tanggung jawab, yang tak jauh berbeda dengan tanggung jawab guru, bahkan lebih daripada guru.
Kecuali itu, masyarakat pun memiliki tanggung jawab yang juga setali tiga uang dengan tanggung jawab  orangtua dan guru. Ketiganya saling melengkapi dan mendukung untuk pendidikan anak.
Maka, upaya mengomunikasikan perihal siswa berpacaran di sekolah --yang memang tak pada tempatnya dan tak pas perilaku berpacarannya-- Â kepada orangtua siswa merupakan langkah edukasi yang mengedepankan kolaborasi. Bukan untuk melemahkan siswa, tapi untuk menguatkan siswa melangkah ke masa depan secara (lebih) optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H