Namun, jika sebaliknya siswa tetap melakukan hal  serupa, guru perlu mengomunikasikan  hal ini kepada orangtua siswa. Agar, orangtua siswa ikut juga memberi ruang dialog untuk anaknya. Sebab, peran orangtua  dalam hal termaksud sangat dibutuhkan.
Betapa tidak, jangkauan orangtua memberi perhatian  terhadap anak sangat luas dan dalam. Karena, orangtua bertemu dengan anak dalam waktu yang relatif panjang dan kualitas perjumpaan yang lebih bermutu  --terkait pembentukan perilaku-- ketimbang dengan guru.
Guru tak perlu langsung kecewa kalau orangtua memiliki respon yang tak sesuai ekspektasinya. Sebab, sangat mungkin orangtua sudah mengetahui bahwa anaknya berpacaran dengan si X, misalnya.
Sering-sering (justru) orangtua telah memberikan (semacam) izin kepada anaknya untuk memiliki relasi tak sekadar teman, tapi teman khusus, terhadap anaknya dengan teman sekolah.
Toh, jika mereka sudah duduk di bangku SMA atau yang sederajat, ada bagian tanggung jawab orangtua yang malah berubah menjadi lebih ringan. Misalnya, dalam mengantar dan menjemput anaknya saat pergi dan pulang sekolah. Aktivitas ini tentu diambil alih oleh si X, teman khusus anak gadisnya.
Tentu ini bukan alasan yang mendorong orangtua mengizinkan anaknya berpacaran, sekalipun mungkin ada (juga). Yang pasti, masing-masing orangtua memiliki alasan yang dapat saja berbeda. Dan, perihal ini sah-sah saja, bahkan alasan apa pun itu.
Karenanya, guru tak memiliki alasan, misalnya, untuk memisahkan hubungan mereka (baca: siswa) oleh karena saking eman-nya (sayangnya). Sebab, siswa memiliki hak pribadi yang harus dihargai. Apalagi kalau orangtua (sendiri) telah menyetujui hubungan anak gadisnya dengan pacarnya, si X.
Hanya memang, perlu ada upaya membina agar hak pribadi itu tak berdampak buruk terhadap dirinya, lebih-lebih terhadap orang lain. Karena, sering juga, siswa, yang masih usia belia sekaligus pengalaman terbatas itu, kurang dapat melihat hak orang lain.
Hal itu, sebetulnya, merupakan fenomena yang wajar (saja) sebab tak hanya siswa, yang masih usia belia itu, orang-orang dewasa pun tak jarang, yang konon katanya sudah banyak makan asam-garam, kurang dapat juga memahami bahwa orang lain memiliki hak yang harus dihargai.
Maka, guru tak perlu mengurungkan maksud mengomunikasikan perilaku berpacaran siswanya kepada orangtua. Sebab, dapat saja perilaku berpacaran siswanya itu belum diketahui oleh orangtuanya.
Toh fenomena tentang sebagian anak kelihatan alim di hadapan orangtua, tapi berbeda dengan ketika ia berada jauh dari orangtua, sering ditemukan. Jadi, guru berbagi informasi tentang siswanya (secara objektif) kepada orangtua siswa merupakan langkah yang perlu selalu dibangun.