Jadi, tak dapat dipilah ini tanggung jawab wali kelas. Itu tanggung jawab guru mapel. Bahkan, ini dan itu tanggung jawab kepala sekolah. Sebab, wali kelas, guru mapel, guru BK, dan kepala sekolah merupakan tim yang, kemudian terlengkapi dengan peran karyawan (sekolah).
Makanya, wali kelas tak perlu merasa gagal ketika menjumpai ada siswanya yang memiliki perilaku buruk dan pencapaian belum tuntas. Dan karenanya, tak perlu melakukan pembelaan, katakan misalnya, untuk melindungi siswanya dalam konteks tersebut.
Apalagi wali kelas sampai merasa terbeban dan malu jika memang ada siswanya yang belum tuntas dan/atau berperilaku buruk secara berulang-ulang. Merasa terbeban dan malu seperti ini dapat mendorong seseorang untuk bersikap menolak dan mencari pembenaran diri.
Wali kelas justru harus bekerja sama dengan semua guru, baik guru mapel maupun guru BK, juga kepala sekolah --pun demikian sebaliknya-- untuk memberi pertolongan kepada siswanya. Pertolongan dalam maksud ini adalah ada upaya kolaborasi mencari solusi terbaik demi siswa tersebut.
Pun tak perlu ada (lagi) anggapan, baik dari guru BK, guru mapel, maupun kepala sekolah, bahwa wali kelas telah gagal mengawal siswanya karena (ternyata) ditemukan ada yang belum baik-baik saja. Ingat, sekali lagi, belum atau sudah berhasilnya siswa merupakan tanggung jawab bersama.
Buktinya, sejak orangtua menyekolahkan anaknya ke sekolah tak ada kesepakatan bahwa si anak menjadi tanggung jawab wali kelas, guru mapel, guru BK, atau kepala sekolah. Tapi, menjadi tanggung jawab sekolah, yang di dalamnya ada wali kelas, guru mapel, guru BK, atau kepala sekolah, bahkan ada keterlibatan karyawan dan komite sekolah.
Bahkan, lebih daripada itu, sebetulnya tanggung jawab pendidikan anak-anak (kita) sesuai dengan perundang-undangan berada di pundak orangtua (keluarga), masyarakat, dan sekolah (pemerintah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H