Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengubah Miskonsepsi Peran Wali Kelas

1 Januari 2024   19:55 Diperbarui: 2 Januari 2024   10:48 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Wali Kelas 9B SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah, memberi informasi ke orangtua siswa saat penerimaan rapor, 16/12/2023. (Dokumentasi pribadi)

Di jenjang pendidikan dasar ada dua pilahan terkait dengan tanggung jawab guru secara khusus terhadap siswa. Di sekolah dasar (SD) dan yang sederajat tak ada wali kelas, tapi ada guru kelas. Di sekolah menengah pertama (SMP) dan yang sederajat ada wali kelas, tapi tak ada guru kelas.

Wali kelas --tak guru kelas-- juga diberlakukan di jenjang pendidikan menengah, baik di sekolah menengah atas (SMA) maupun di sekolah menengah kejuruan (SMK) dan yang sederajat.

Di SMP dan yang sederajat dan di SMA/SMK dan yang sederajat yang mengajar tak hanya wali kelas. Ada banyak guru mata pelajaran (mapel) yang mengajar siswa di tiap kelas.

Berbeda dengan di SD, siswa umumnya diajar oleh guru kelas. Tentu kecuali guru agama, atau mungkin guru yang membutuhkan kompetensi khusus, misalnya, mapel atau bidang studi Bahasa Inggris. Tapi, masih relatif banyak mapel yang diajarkan oleh guru kelas.

Itu artinya, di SMP dan yang sederajat dan di SMA/SMK dan yang sederajat, wali kelas memiliki peran yang sama dengan guru mapel dalam mengajar dan mendidik siswa.

Keduanya memiliki harapan agar siswa yang dibersamai dalam proses pembelajaran, berhasil dalam mengenyam pendidikan. Tak ada yang berbeda harapan dalam konteks mengajar dan mendidik siswa. Itu visi guru terhadap siswa, baik guru yang berperan sebagai wali kelas maupun guru mapel.

Hanya, memang, guru yang menjadi wali kelas memiliki peran yang lebih khusus sebab di sekolah ia boleh disebut sebagai orangtua siswa. Semua urusan yang berhubungan dengan siswa, baik administrasi, relasi, maupun prestasi (pencapaian), wali kelas menjadi pusat membangun komunikasi.

Kalau ada administrasi yang perlu diurus, misalnya, siswa, orangtua, dan guru (lain) selalu berkomunikasi dengan wali kelas. Pun kalau ada relasi antara siswa dengan siswa yang lain dan/atau dengan guru yang ternyata berdampak kurang produktif, wali kelas tempat untuk mengomunikasikannya demi menemukan solusi. 

Hal yang sama terkait dengan prestasi siswa, wali kelas selalu menjadi tempat klarifikasi dan konfirmasi bagi guru (lain), orangtua, atau kepala sekolah.

Jadi, selain memiliki peran seperti yang dimiliki oleh guru mapel, wali kelas memiliki peran lain yang lebih khusus bagi siswa di kelas yang dirinya menjadi wali kelas (siswa dalam relasi dengan wali kelas ini selanjutnya akan disebut siswanya). Umumnya peran ini dilakukan oleh wali kelas selama satu tahun pelajaran.

Artinya, pada tahun pelajaran ini, boleh jadi ia menjadi wali kelas. Tapi, belum tentu pada tahun pelajaran berikutnya ia menjadi wali kelas.

Penentuan ini dilakukan oleh kepala sekolah yang dikuatkan dengan ditetapkannya Surat Keputusan Kepala Sekolah. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, dinamakan Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang Pembagian Tugas Guru.

Di dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, tugas wali kelas ada sembilan.

Tugas itu adalah (a) mengelola kelas yang menjadi tanggung jawabnya; (b) berinteraksi dengan orang tua/wali peserta didik; (c) menyelenggarakan administrasi kelas; (d) menyusun dan melaporkan kemajuan belajar peserta didik; (e) membuat catatan khusus tentang peserta didik; (f) mencatat mutasi peserta didik; (g) mengisi dan membagi buku laporan penilaian hasil belajar; (h) melaksanakan tugas lainnya yang berkaitan dengan kewalikelasan; (i) menyusun laporan tugas sebagai wali kelas kepada kepala sekolah.

Tugas-tugas seperti itu yang akan mengondisikan wali kelas selalu membangun relasi (edukasi) dengan siswanya. Ketika ada siswanya yang mengalami problem, misalnya, wali kelas adalah orang pertama yang (seperti diwajibkan) mengetahui.

Sebab, yang dituju kali pertama pelaporan tentang hal ini adalah wali kelas. Makanya, orang pertama yang memberi respon yang bersifat edukatif kepada siswa termaksud adalah wali kelas.

Sayang, tugas mulia itu, selama ini, menjadi kurang nyaman didengar oleh telinga ketika wali kelas dianggap sebagai pelindung dan pembela siswanya.

Hal tersebut, pertama, sangat terasa ketika siswanya sedang mengalami problem di sekolah. Misalnya, merundung temannya, mengambil barang milik temannya, tak tertib, sering membolos, menyontek saat ulangan, dan perilaku buruk yang lain yang diketahui guru.

Saat siswa tersebut diajak komunikasi di ruang Bimbingan dan Konseling (BK) oleh guru BK, wali kelas umumnya dilibatkan. Relasi antara guru BK dan wali kelas merupakan relasi setara dan sederajat untuk bersama mencari solusi terbaik bagi siswa. Makanya, antara guru BK dan wali kelas saling melengkapi data sebelum mengambil keputusan terbaik.

Hanya, sering kalau keputusan itu (ternyata) merupakan konsekuensi buruk bagi siswanya, wali kelas menawar. Dalam maksud agar siswanya menerima konsekuensi yang lebih ringan.

Saya rasa sikap seperti ini tak menjadi masalah asal (saja) wali kelas realistis. Objektif. Dan, harus berani menjamin siswanya tak akan melakukan lagi perilaku buruk. Dengan berani menjamin berarti wali kelas memiliki tugas yang tak ringan untuk mengawal (terus) siswanya itu.

Oleh karena (dimungkinkan) ada perbedaan sikap --sekalipun sangat sedikit-- wali kelas dengan guru BK seperti telah disebut di atas, tak jarang oleh sebagian guru, wali kelas tersebut dianggap memberi perlindungan dan pembelaan terhadap siswanya.

Hanya, anggapan seperti itu (memang) tak pernah terungkap langsung di hadapan wali kelas bersangkutan. Selalu tersembunyi, dalam arti, hanya diungkapkan kepada guru lain, yang tentu untuk menjaga hati. Sebab, pasti ada dampak buruk juga ketika ungkapan itu sampai ke telinga wali kelas yang dimaksud.

Kedua, saat diadakan rapat kenaikan kelas, yang dalam momen itu berfungsi untuk meneguhkan siswa sudah atau belum tuntas. Dalam momen seperti itu selalu ada wali kelas yang menginginkan semua siswanya tuntas belajar.

Sekalipun sikap seperti itu sebetulnya tak perlu dilakukan oleh wali kelas. Sebab, angka atau nilai yang menggambarkan siswa sudah atau belum tuntas sudah dikaji secara cermat dan teliti oleh masing-masing guru mapel.

Kalau wali kelas kemudian menginginkan semua siswanya tuntas, padahal kenyataannya ada siswa yang belum tuntas, bolehlah sikap itu dianggap sebagai kurang mau mengerti bahwa guru mapel sudah bekerja keras.

Makanya, dalam konteks seperti itu sering terjadi suasana yang kurang nyaman. Wali kelas (ada kesan kuat) memperjuangkan siswanya, sementara guru mapel tetap mempertahankan angka atau nilai yang diberikan kepada siswa karena sudah relevan dengan kompetensinya.

Toh begitu, sekali lagi, tak pernah ada ungkapan langsung (dari guru lain) di hadapan wali kelas yang sedang "memperjuangkan" siswanya dengan menyatakan bahwa wali kelas telah membela dan melindungi siswanya. Tak pernah ada! Jadi, lebih berwujud dalam relasi bisik-bisik.

Realitas seperti itu, agaknya hingga kini tetap terus terjadi. Sehingga, setiap ada momen, terutama momen kenaikan kelas, selalu ada suasana yang agak mengganggu hati. Tak hanya mengena ke wali kelas. Tapi, juga ke guru BK, guru mapel --yang tak terbatas satu dua guru saja. Memprihatinkan jika tak ada upaya mau berubah.

Memberi pengertian baru

Maka, perenungan berikut ini kiranya memberikan pengertian baru kepada guru, baik guru yang menjadi wali kelas, guru BK, guru mapel, (bahkan) maupun guru yang menjadi kepala sekolah mengenai peran wali kelas

Bahwa dalam proses pembelajaran selalu ada siswa yang mengarah ke baik-baik saja. Tapi, ada juga yang belum mengarah ke sana, malah sebaliknya, menjadi tak baik-baik saja. Baik dari sisi prestasi maupun perilaku. Namun, semua itu menjadi tanggung jawab bersama.

Jadi, tak dapat dipilah ini tanggung jawab wali kelas. Itu tanggung jawab guru mapel. Bahkan, ini dan itu tanggung jawab kepala sekolah. Sebab, wali kelas, guru mapel, guru BK, dan kepala sekolah merupakan tim yang, kemudian terlengkapi dengan peran karyawan (sekolah).

Makanya, wali kelas tak perlu merasa gagal ketika menjumpai ada siswanya yang memiliki perilaku buruk dan pencapaian belum tuntas. Dan karenanya, tak perlu melakukan pembelaan, katakan misalnya, untuk melindungi siswanya dalam konteks tersebut.

Apalagi wali kelas sampai merasa terbeban dan malu jika memang ada siswanya yang belum tuntas dan/atau berperilaku buruk secara berulang-ulang. Merasa terbeban dan malu seperti ini dapat mendorong seseorang untuk bersikap menolak dan mencari pembenaran diri.

Wali kelas justru harus bekerja sama dengan semua guru, baik guru mapel maupun guru BK, juga kepala sekolah --pun demikian sebaliknya-- untuk memberi pertolongan kepada siswanya. Pertolongan dalam maksud ini adalah ada upaya kolaborasi mencari solusi terbaik demi siswa tersebut.

Pun tak perlu ada (lagi) anggapan, baik dari guru BK, guru mapel, maupun kepala sekolah, bahwa wali kelas telah gagal mengawal siswanya karena (ternyata) ditemukan ada yang belum baik-baik saja. Ingat, sekali lagi, belum atau sudah berhasilnya siswa merupakan tanggung jawab bersama.

Buktinya, sejak orangtua menyekolahkan anaknya ke sekolah tak ada kesepakatan bahwa si anak menjadi tanggung jawab wali kelas, guru mapel, guru BK, atau kepala sekolah. Tapi, menjadi tanggung jawab sekolah, yang di dalamnya ada wali kelas, guru mapel, guru BK, atau kepala sekolah, bahkan ada keterlibatan karyawan dan komite sekolah.

Bahkan, lebih daripada itu, sebetulnya tanggung jawab pendidikan anak-anak (kita) sesuai dengan perundang-undangan berada di pundak orangtua (keluarga), masyarakat, dan sekolah (pemerintah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun