Artinya, pada tahun pelajaran ini, boleh jadi ia menjadi wali kelas. Tapi, belum tentu pada tahun pelajaran berikutnya ia menjadi wali kelas.
Penentuan ini dilakukan oleh kepala sekolah yang dikuatkan dengan ditetapkannya Surat Keputusan Kepala Sekolah. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, dinamakan Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang Pembagian Tugas Guru.
Di dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, tugas wali kelas ada sembilan.
Tugas itu adalah (a) mengelola kelas yang menjadi tanggung jawabnya; (b) berinteraksi dengan orang tua/wali peserta didik; (c) menyelenggarakan administrasi kelas; (d) menyusun dan melaporkan kemajuan belajar peserta didik; (e) membuat catatan khusus tentang peserta didik; (f) mencatat mutasi peserta didik; (g) mengisi dan membagi buku laporan penilaian hasil belajar; (h) melaksanakan tugas lainnya yang berkaitan dengan kewalikelasan; (i) menyusun laporan tugas sebagai wali kelas kepada kepala sekolah.
Tugas-tugas seperti itu yang akan mengondisikan wali kelas selalu membangun relasi (edukasi) dengan siswanya. Ketika ada siswanya yang mengalami problem, misalnya, wali kelas adalah orang pertama yang (seperti diwajibkan) mengetahui.
Sebab, yang dituju kali pertama pelaporan tentang hal ini adalah wali kelas. Makanya, orang pertama yang memberi respon yang bersifat edukatif kepada siswa termaksud adalah wali kelas.
Sayang, tugas mulia itu, selama ini, menjadi kurang nyaman didengar oleh telinga ketika wali kelas dianggap sebagai pelindung dan pembela siswanya.
Hal tersebut, pertama, sangat terasa ketika siswanya sedang mengalami problem di sekolah. Misalnya, merundung temannya, mengambil barang milik temannya, tak tertib, sering membolos, menyontek saat ulangan, dan perilaku buruk yang lain yang diketahui guru.
Saat siswa tersebut diajak komunikasi di ruang Bimbingan dan Konseling (BK) oleh guru BK, wali kelas umumnya dilibatkan. Relasi antara guru BK dan wali kelas merupakan relasi setara dan sederajat untuk bersama mencari solusi terbaik bagi siswa. Makanya, antara guru BK dan wali kelas saling melengkapi data sebelum mengambil keputusan terbaik.
Hanya, sering kalau keputusan itu (ternyata) merupakan konsekuensi buruk bagi siswanya, wali kelas menawar. Dalam maksud agar siswanya menerima konsekuensi yang lebih ringan.
Saya rasa sikap seperti ini tak menjadi masalah asal (saja) wali kelas realistis. Objektif. Dan, harus berani menjamin siswanya tak akan melakukan lagi perilaku buruk. Dengan berani menjamin berarti wali kelas memiliki tugas yang tak ringan untuk mengawal (terus) siswanya itu.