Setiap malam, kami (saya dan istri) selalu minum seduhan rempah. Jahe, kunyit, lengkuas, dan serai. Tidak dikeprek, tapi diiris kecil-kecil. Diseduh dalam air panas. Setelah hangat, ditambah madu dan perasan jeruk nipis.
Seduhan rempah plus topping, siap diminum. Biasanya kami minum tanpa dibarengi dengan camilan atau makanan lainnya. Kami minum begitu saja. Dan, sudah.
Hanya, Anda saya beri tahu bahwa sehabis minum, sisa-sisa rasa di mulut dan aroma yang menguar ke lubang hidung adalah bagian lain yang justru ngangeni.
Bagian itu yang menurut saya --entah sugesti atau apa---memunculkan semangat dan gairah. Senang dan nyaman rasanya. Selain tentu saja, tubuh menjadi sehat dan segar.
Yang disebut terakhir ini tak perlu diceritakan. Semua orang pasti mengamini. Apalagi generasi yang leluhur, sudah pasti mengharap semua generasi turut menikmatinya  karena sudah mengetahui khasiatnya.
Itu sebabnya, karena kami sudah membiasakan diri menikmatinya, kami mencoba memersuasi si bungsu, yang kini sudah di bangku SMA. Bagi kami, langkah ini penting, sebab seusia si bungsu tentu lebih terasa manfaatnya untuk minum seduhan rempah.
Stamina tubuhnya akan lebih terjaga. Apalagi remaja seusia si bungsu pasti banyak aktivitas. Aktivitas di sekolah hingga sore. Belum lagi les. Belum lagi aktivitas gereja. Belum lagi tugas sekolah yang harus diselesaikan di rumah.
[Kami tak berpikir bahwa mengenalkan seduhan rempah kepada si bungsu, yang sudah berada di bangku Kelas X, sudah terlambat. Tak ada kata terlambat terkait dengan perihal ini. Kami saja mulai merasa ketagihan seduhan rempah setelah usia tua.]
Tapi, Anda pasti sudah dapat menebak. Tak mudah memengaruhi remaja seusianya mau minum seduhan rempah. Perlu perjuangan. Dan, hingga catatan ini saya buat, belum berhasil maksimal.
Sekalipun ia sudah mulai merasakan. Tak apa baru  sedikit-sedikit. Sebab, jatah ibunya yang digunakan baginya untuk  ia mencicipi. Itu saja harus dibimbing oleh ibunya. Jika sudah mencicipi, dari mulutnya pasti keluar keluhan bernada penolakan.
Dan, hal memengaruhi itu dilakukan oleh ibunya setiap kali membuat seduhan rempah. Jadi setiap malam, si bungsu --sekalipun (seperti di atas sudah disebut), sedikit-sedikit---sudah merasakan dan membau aroma rempah. Ini tentu lebih baik ketimbang tak sama sekali.
Merasakan secara minimalis dan membau aroma seduhan rempah, setidaknya membawanya mulai mengenal rempah. Memang untuk mengenalkan rempah terhadap remaja dan pemuda pada masa kini tak mudah. Perlu perjuangan.
Adanya banyak outlet, kedai, warung, atau apalah sebutannya, yang menjajakan minuman jenis rempah sangat mendukung pengenalan rempah terhadap generasi muda. Sebab, sejauh pengetahuan saya, banyak juga konsumen dari kalangan muda.
Dengan begitu, disadari atau tidak, penjaja minuman rempah sudah turut mengenalkan rempah terhadap generasi muda. Sekalipun seduhan rempah yang diminum sudah mendapat tambahan, mungkin susu, cokelat, gula, madu, atau yang lain.
Setidaknya aroma rempah masih menguar ke lubang hidung, yang membantu mereka bisa menandai bahwa aroma yang termaksud adalah aroma rempah. Sehingga, di mana dan kapan pun, ketika mereka membau aroma seperti itu sudah mengenalnya.
Tentu saja pengenalan yang dilakukan oleh orangtua yang memiliki tradisi minum seduhan rempah kepada anak, lebih prospektif. Sebab, orangtua tentu tak hanya mengajak anak untuk minum. Tapi, juga berdialog.
Sekalipun mungkin dialog awal yang terbangun merupakan dialog penolakan. Tapi kalau orangtua  setia mengajaknya, bukan mustahil lambat laun, terjadi perubahan dialog. Yang semula bersifat menolak, yang kemudian bersifat menerima.
Toh memang begitu umumnya. Orang yang mau berusaha selalu mengawalinya dengan perjuangan bukan? Yang penting tak bosan-bosannya untuk mengajak anak menikmati seduhan rempah. Dibarengi dialog yang nyaman sampai menyentuh ke perihal rempah.
Ini akan sangat mudah dilakukan sebab, sekarang, Â masyarakat sudah membuka kran dukungan. Misalnya, adanya penjaja minuman rempah, adanya penjual makanan tradisional, dan banyaknya iklan produk yang mengusung kembali pada kemujaraban herbal.
Bahkan, saya membaca catatan kecil di Kompas (17/11/2023) mengenai Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM) bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengembangkan aplikasi Literasi Jamu Digital.
Aplikasi ini digunakan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat mengenai jamu dan pengobatan tradisional Indonesia yang berbasis pengetahuan digital dan kajian ilmiah.
Semuanya itu mengindikasikan bahwa kita dibawa ke masa semangat kembali ke alam. Ini tentu dapat menjadi momen yang tepat untuk membangun kesadaran kita, terlebih anak-anak, mengenai betapa alam menyediakan beragam hasil, termasuk rempah yang menyimpan banyak khasiat.
Menyimpan banyak khasiat dan tersedia di alam Indonesia, amat disayangkan jika rempah tak dikenalkan kepada generasi muda atau anak-anak.
Sementara, anak-anak kekinian sudah digempur oleh beragam jenis makanan dan minuman modern. Yang, maaf, sekalipun tak semua, beberapa berdampak tak baik bagi tubuh.
Rempah yang sudah diakui khasiatnya sejak masa lampau, yang ditandai oleh adanya bangsa asing berburu rempah dari bumi pertiwi, perlu diestafetkan kepada generasi muda.
Di sekolah pun dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka, yang di dalamnya ada muatan proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), memberi ruang bagi sekolah secara merdeka mengeksplorasi kearifan lokal sesuai dengan konteksnya.
Rempah yang sudah ada di alam Indonesia sejak lampau dan sebagian sudah dimanfaatkan untuk membuat jamu --yang ditandai dengan lahirnya jamu gendhong---merupakan kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan.
Oleh karena itu, sekolah yang menjadi basis bagi anak (secara personal dan kolektif) untuk menumbuhkembangkan potensi diri demi masa depannya dan masa depan bangsa, perlu (juga) mengeksplorasi rempah, sejak pembibitan, penanaman, pemanenan, hingga pengolahan dalam pembelajaran P5. Agar, pengenalan anak terhadapnya semakin mendalam dan akhirnya tumbuh sikap menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H