Dan, hal memengaruhi itu dilakukan oleh ibunya setiap kali membuat seduhan rempah. Jadi setiap malam, si bungsu --sekalipun (seperti di atas sudah disebut), sedikit-sedikit---sudah merasakan dan membau aroma rempah. Ini tentu lebih baik ketimbang tak sama sekali.
Merasakan secara minimalis dan membau aroma seduhan rempah, setidaknya membawanya mulai mengenal rempah. Memang untuk mengenalkan rempah terhadap remaja dan pemuda pada masa kini tak mudah. Perlu perjuangan.
Adanya banyak outlet, kedai, warung, atau apalah sebutannya, yang menjajakan minuman jenis rempah sangat mendukung pengenalan rempah terhadap generasi muda. Sebab, sejauh pengetahuan saya, banyak juga konsumen dari kalangan muda.
Dengan begitu, disadari atau tidak, penjaja minuman rempah sudah turut mengenalkan rempah terhadap generasi muda. Sekalipun seduhan rempah yang diminum sudah mendapat tambahan, mungkin susu, cokelat, gula, madu, atau yang lain.
Setidaknya aroma rempah masih menguar ke lubang hidung, yang membantu mereka bisa menandai bahwa aroma yang termaksud adalah aroma rempah. Sehingga, di mana dan kapan pun, ketika mereka membau aroma seperti itu sudah mengenalnya.
Tentu saja pengenalan yang dilakukan oleh orangtua yang memiliki tradisi minum seduhan rempah kepada anak, lebih prospektif. Sebab, orangtua tentu tak hanya mengajak anak untuk minum. Tapi, juga berdialog.
Sekalipun mungkin dialog awal yang terbangun merupakan dialog penolakan. Tapi kalau orangtua  setia mengajaknya, bukan mustahil lambat laun, terjadi perubahan dialog. Yang semula bersifat menolak, yang kemudian bersifat menerima.
Toh memang begitu umumnya. Orang yang mau berusaha selalu mengawalinya dengan perjuangan bukan? Yang penting tak bosan-bosannya untuk mengajak anak menikmati seduhan rempah. Dibarengi dialog yang nyaman sampai menyentuh ke perihal rempah.
Ini akan sangat mudah dilakukan sebab, sekarang, Â masyarakat sudah membuka kran dukungan. Misalnya, adanya penjaja minuman rempah, adanya penjual makanan tradisional, dan banyaknya iklan produk yang mengusung kembali pada kemujaraban herbal.
Bahkan, saya membaca catatan kecil di Kompas (17/11/2023) mengenai Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM) bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengembangkan aplikasi Literasi Jamu Digital.
Aplikasi ini digunakan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat mengenai jamu dan pengobatan tradisional Indonesia yang berbasis pengetahuan digital dan kajian ilmiah.