Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Korupsi dalam Perspektif Guru

11 November 2023   14:35 Diperbarui: 14 November 2023   17:42 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perihal korupsi di negeri ini sudah bejibun. Seperti yang dicatat Kompas.com (18/7/2023), misalnya, ada 351 kasus yang melibatkan pejabat eselon 1 hingga 4, 344 kasus yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 31 kasus melibatkan hakim, dan 24 kasus melibatkan gubernur.

Pejabat eselon 1 hingga 4, anggota DPR dan DPRD, hakim, dan gubernur, bukan sosok yang tak berpendidikan. Mereka pasti berpendidikan (tinggi). Sehingga, mereka, terutama yang sudah berumah tangga, menjadi sosok kebanggaan dalam keluarga.

Bahkan menjadi panutan. Tak hanya bagi orang-orang dalam keluarga, tapi juga saudara, tetangga, bahkan masyarakat luas. Mereka --terutama yang masih taruna---mengharap dapat meneladan jejaknya. Menjadi orang terkenal, terpandang, dan berpenghasilan besar.

Hal keteladanan inilah yang akhir-akhir ini digaungkan di dunia pendidikan. Sebab, keteladanan merupakan tindakan nyata yang dapat dilihat dan didengar (langsung), yang diyakini dapat menjadi inspirasi dan mudah ditiru.

Oleh karena itu, guru  --dalam konsep bahasa Jawa---yang diuraikan menjadi digugu dan ditiru, seakan dituntut selalu memberi teladan (baik) terhadap siswa.

Terlebih dalam pendidikan karakter, guru menjadi role model bagi siswa. Guru di sekolah akan merasa kurang nyaman, misalnya, makan sambil berjalan. Karena khawatir dilihat oleh siswa dan siswa menirunya.

Masih banyak perilaku (kurang layak) yang oleh guru harus hati-hati agar tak menginspirasi siswa. Di antaranya, tak membuang sampah di sembarang tempat, tak merokok (sekalipun mungkin masih ada guru yang merokok dengan cara mencari lokasi yang tak vulgar), dan tak duduk seenaknya (misalnya mengangkat kaki di atas kursi --bahasa Jawa: jigrang).

Karena guru menjadi pusat perhatian siswa, diakui atau tidak, semua gerak-geriknya diteropong oleh siswa. Kalau siswa melihat ada gurunya berperilaku buruk,  guru tersebut pasti menjadi pergunjingan siswa. Dan akibatnya, kewibawaan guru turun di mata siswa.

Namun, akibat yang lebih buruk adalah adanya  dampak terhadap karakter siswa. Sebab, bukan tak mungkin perilaku buruk guru ditiru oleh siswa. Bahkan, sangat mungkin akhirnya perilaku siswa (malah) lebih buruk daripada perilaku guru yang ditirunya.

Maka, sangat masuk akal jika kita menjumpai ada peribahasa, guru kencing berdiri; murid kencing berlari. Peribahasa ini lahir tentu bukan tanpa penyebab.

Boleh jadi peribahasa tersebut  lahir diawali dengan adanya kejadian yang berulang-ulang tentang perilaku buruk guru, yang diketahui (kemudian) ditiru (secara masif dan membabi buta) oleh siswa.

Guru dalam konteks ini tentu tak sekadar mengacu kepada guru di ranah formal, tapi juga guru yang berada di ranah yang lain. Di masyarakat, baik terkait dengan bidang keagamaan, sosial, budaya, politik, keamanan, maupun bidang yang lain, selalu ada yang diberi predikat guru, bukan?

Jadi, saya kira, lahirnya peribahasa guru kencing berdiri; murid kencing berlari dilatarbelakangi oleh perilaku-perilaku buruk guru dalam maksud yang umum, baik guru di ranah formal maupun guru-guru di ranah yang lain.

Mungkin saja awal-awalnya  perilaku-perilaku guru tersebut terekam oleh mata dan telinga masyarakat (yang adalah penutur bahasa). Kemudian, agar pengalaman-pengalaman yang terekam itu  dapat dimuati petuah atau nasihat dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat, dibuatlah peribahasa yang hingga kini masih relevan pemanfaatannya.  

Sebab, diakui atau tidak, hingga kini tak hanya masih ada guru yang memiliki perilaku buruk. Tapi, banyak manusia dewasa --sejatinya dapat menjadi guru dalam kehidupan-- yang berperilaku tak terpuji, yang dapat saja, tanpa kita sadari, menjadi  panutan bagi anak-anak.

Misalnya, para koruptor, seperti yang sudah disebut di awal tulisan ini. Mereka adalah manusia-manusia hebat. Jabatan mereka tinggi-tinggi. Tentu saja pendidikan mereka juga tinggi. Tapi, perilakunya tak terpuji.

Kalau kemudian muncul pemberitaan tentang mereka di hampir semua media yang dapat diakses oleh siapa pun, tentu saja tak menjadi masalah. Karena,  media memiliki tugas menginformasikan kepada publik dan sebaliknya publik menghidupi media.

Yang menjadi masalah adalah pemberitaan perilaku buruk manusia-manusia hebat itu dimungkinkan dapat "mengotori" pikiran dan benak anak-anak. Sebab, sangat mungkin mereka turut melihat dan mendengarkannya.

Apalagi pada era teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) saat ini, tentu sangat mudah mereka menemukannya. Toh anak-anak memang sudah bergawai sejak kecil. Anak-anak yang tanpa pendampingan atau kontrol orangtua, dapat salah dalam memaknai temuannya.

Bahkan, dapat saja pemaknaan yang salah itu dialami sebagian besar anak sebab pada masa kini orangtua memiliki kesibukan, yang kadang menyebabkannya tak sempat berdialog dengan anak. Pergi bekerja saat anak masih tidur; pulang bekerja saat anak sudah tidur.

Pemaknaan salah, misalnya, pejabat banyak yang korupsi, lalu dimaknai bahwa yang lain pun boleh korupsi. Kalau yang berpendidikan tinggi melakukan korupsi; yang berpendidikan rendah atau tak berpendidikan, wajar kalau melakukan korupsi.

Yang lebih parah kalau anak-anak akhirnya meniru melakukan perilaku tak terpuji, tanpa rasa takut dan malu. Karena, diakui atau tidak, perilaku buruk tokoh-tokoh  hebat yang sudah disebut di atas dapat saja menjadi role model bagi mereka.

Role model itu dapat melekat erat (secara mudah dan cepat) di dalam pikiran dan hati anak-anak  karena nyaris hampir setiap hari mereka dapat melihat dan mendengarnya. Apalagi ada banyak bukti bahwa meniru perilaku yang buruk lebih mudah daripada meniru yang baik.

Peperangan batin

Pada titik inilah guru mengalami peperangan batin yang berat sebagai pendidik. Sebab, di sisi lain guru mengampanyekan pembangunan karakter, tapi di sisi yang lain  --entah disadari atau tidak--- ada pengeroposan bangunan karakter melalui tindakan korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya yang justru dilakukan oleh publik figur dan semua itu dapat diakses oleh anak dengan mudah.

Selain itu, guru seolah mengalami kegagalan dalam membangun karakter generasi bangsa. Sebab, dapat dipastikan publik figur yang terjerat dalam kasus korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya, dulunya merupakan generasi yang dididik oleh para guru.

Semasa sekolah, mereka pasti anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang memiliki semangat dalam belajar. Anak-anak yang memiliki cita-cita besar. Sehingga, nyata pada akhirnya, mereka menjadi orang-orang penting di negeri ini.

Dan, tentu saja, semasa sekolah, mereka menjaga karakter tetap baik. Sehingga, kemudahan dalam mengenyam pendidikan, dari yang terendah hingga tertinggi, dapat dinikmati. Bahkan, sampai mereka dapat menduduki jabatan tinggi --terseleksinya tak lepas dari asesmen karakter.

Tapi, kalau kemudian, ketika sudah menjadi pejabat --bahkan mungkin yang tertinggi dalam karier---terjerat dalam kasus korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya, menjadi kontraproduktif. Ini yang menyedihkan.

Mereka yang seharusnya menjadi sahabat guru, bahkan menjadi guru bagi yang lain karena memiliki jabatan tinggi dalam pembangunan karakter, justru kini menjadi berseteru dengan guru.  

Pada akhirnya, entah diakui atau tidak, kini, tugas guru dalam mendidik (pembangunan karakter) siswa semakin berat. Karena banyak role model yang buruk terlahir dari para petinggi negeri ini dalam kehidupan masyarakat, tempat anak lahir dan dibesarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun