Guru dalam konteks ini tentu tak sekadar mengacu kepada guru di ranah formal, tapi juga guru yang berada di ranah yang lain. Di masyarakat, baik terkait dengan bidang keagamaan, sosial, budaya, politik, keamanan, maupun bidang yang lain, selalu ada yang diberi predikat guru, bukan?
Jadi, saya kira, lahirnya peribahasa guru kencing berdiri; murid kencing berlari dilatarbelakangi oleh perilaku-perilaku buruk guru dalam maksud yang umum, baik guru di ranah formal maupun guru-guru di ranah yang lain.
Mungkin saja awal-awalnya  perilaku-perilaku guru tersebut terekam oleh mata dan telinga masyarakat (yang adalah penutur bahasa). Kemudian, agar pengalaman-pengalaman yang terekam itu  dapat dimuati petuah atau nasihat dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat, dibuatlah peribahasa yang hingga kini masih relevan pemanfaatannya. Â
Sebab, diakui atau tidak, hingga kini tak hanya masih ada guru yang memiliki perilaku buruk. Tapi, banyak manusia dewasa --sejatinya dapat menjadi guru dalam kehidupan-- yang berperilaku tak terpuji, yang dapat saja, tanpa kita sadari, menjadi  panutan bagi anak-anak.
Misalnya, para koruptor, seperti yang sudah disebut di awal tulisan ini. Mereka adalah manusia-manusia hebat. Jabatan mereka tinggi-tinggi. Tentu saja pendidikan mereka juga tinggi. Tapi, perilakunya tak terpuji.
Kalau kemudian muncul pemberitaan tentang mereka di hampir semua media yang dapat diakses oleh siapa pun, tentu saja tak menjadi masalah. Karena, Â media memiliki tugas menginformasikan kepada publik dan sebaliknya publik menghidupi media.
Yang menjadi masalah adalah pemberitaan perilaku buruk manusia-manusia hebat itu dimungkinkan dapat "mengotori" pikiran dan benak anak-anak. Sebab, sangat mungkin mereka turut melihat dan mendengarkannya.
Apalagi pada era teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) saat ini, tentu sangat mudah mereka menemukannya. Toh anak-anak memang sudah bergawai sejak kecil. Anak-anak yang tanpa pendampingan atau kontrol orangtua, dapat salah dalam memaknai temuannya.
Bahkan, dapat saja pemaknaan yang salah itu dialami sebagian besar anak sebab pada masa kini orangtua memiliki kesibukan, yang kadang menyebabkannya tak sempat berdialog dengan anak. Pergi bekerja saat anak masih tidur; pulang bekerja saat anak sudah tidur.
Pemaknaan salah, misalnya, pejabat banyak yang korupsi, lalu dimaknai bahwa yang lain pun boleh korupsi. Kalau yang berpendidikan tinggi melakukan korupsi; yang berpendidikan rendah atau tak berpendidikan, wajar kalau melakukan korupsi.
Yang lebih parah kalau anak-anak akhirnya meniru melakukan perilaku tak terpuji, tanpa rasa takut dan malu. Karena, diakui atau tidak, perilaku buruk tokoh-tokoh  hebat yang sudah disebut di atas dapat saja menjadi role model bagi mereka.