Role model itu dapat melekat erat (secara mudah dan cepat) di dalam pikiran dan hati anak-anak  karena nyaris hampir setiap hari mereka dapat melihat dan mendengarnya. Apalagi ada banyak bukti bahwa meniru perilaku yang buruk lebih mudah daripada meniru yang baik.
Peperangan batin
Pada titik inilah guru mengalami peperangan batin yang berat sebagai pendidik. Sebab, di sisi lain guru mengampanyekan pembangunan karakter, tapi di sisi yang lain  --entah disadari atau tidak--- ada pengeroposan bangunan karakter melalui tindakan korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya yang justru dilakukan oleh publik figur dan semua itu dapat diakses oleh anak dengan mudah.
Selain itu, guru seolah mengalami kegagalan dalam membangun karakter generasi bangsa. Sebab, dapat dipastikan publik figur yang terjerat dalam kasus korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya, dulunya merupakan generasi yang dididik oleh para guru.
Semasa sekolah, mereka pasti anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang memiliki semangat dalam belajar. Anak-anak yang memiliki cita-cita besar. Sehingga, nyata pada akhirnya, mereka menjadi orang-orang penting di negeri ini.
Dan, tentu saja, semasa sekolah, mereka menjaga karakter tetap baik. Sehingga, kemudahan dalam mengenyam pendidikan, dari yang terendah hingga tertinggi, dapat dinikmati. Bahkan, sampai mereka dapat menduduki jabatan tinggi --terseleksinya tak lepas dari asesmen karakter.
Tapi, kalau kemudian, ketika sudah menjadi pejabat --bahkan mungkin yang tertinggi dalam karier---terjerat dalam kasus korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya, menjadi kontraproduktif. Ini yang menyedihkan.
Mereka yang seharusnya menjadi sahabat guru, bahkan menjadi guru bagi yang lain karena memiliki jabatan tinggi dalam pembangunan karakter, justru kini menjadi berseteru dengan guru. Â
Pada akhirnya, entah diakui atau tidak, kini, tugas guru dalam mendidik (pembangunan karakter) siswa semakin berat. Karena banyak role model yang buruk terlahir dari para petinggi negeri ini dalam kehidupan masyarakat, tempat anak lahir dan dibesarkan.