Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar Perihal Lama bagi Generasi Masa Kini, Kenapa Tidak?

14 Mei 2023   15:24 Diperbarui: 16 Mei 2023   16:27 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Murid-murid SMP Satu Atap Undaan, Kudus, Jawa Tengah, sedang membuat kerangka ketupat. (Dokumentasi pribadi)

Saat kami mengantar salah satu teman guru yang mutasi ke sekolah yang baru beberapa waktu yang lalu karena promosi jabatan, saya melihat para murid di sekolah itu melakukan aktivitas yang menarik untuk direnungkan.

Aktivitas itu adalah membuat ketupat. Ketupat merupakan hasil budi daya generasi terdahulu yang hingga kini masih diakui keberadaannya.

Karena, di daerah kami (kemungkinan di daerah lain juga), seminggu setelah lebaran, ketupat masih menjadi tanda budaya, yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat. Ketupat biasanya disandingkan dengan lepet.

Dalam momen seperti itu, kami sering mendapat kiriman dari teman atau tetangga. Seperti juga beberapa waktu yang lalu.

Menjelang tradisi kupatan, yaitu masa yang dahulu ditandai dengan kesibukan banyak orang membuat ketupat (atau kerangka ketupat lebih tepatnya), kini tidak mudah ditemukan.

Fenomena ini sekaligus menandai bahwa tidak setiap keluarga mampu membuat kerangka ketupat. Penyebabnya di antaranya adalah orang tidak lagi terbiasa menganyam janur. Karena orang lebih memilih praktisnya.

Sebab, ternyata, kerangka ketupat sudah banyak dijual di pasar. Orang tinggal membeli. Orang tidak perlu repot-repot menganyam janur membikin kerangka ketupat. Cukup dengan uang, orang sudah bisa memasak ketupat.

Bahkan, lebih praktis lagi, bisa saja orang membeli ketupat matang. Sebab, ada orang yang menjualnya pada saat tradisi kupatan.

Bagi orang yang cerdas membaca peluang usaha, berjualan kerangka ketupat atau ketupat matang, juga lepet pada masa tradisi kupatan bisa menjadi usaha yang menarik.

Kenyataan ini akan semakin menjauhkan orang dari proses-proses mencipta yang pernah dilakukan oleh generasi dahulu. Padahal, proses-proses mencipta oleh generasi dahulu sejatinya banyak yang masih dibutuhkan oleh generasi masa kini.

Maka, ketika saya melihat aktivitas murid di sekolah tempat teman saya dimutasi itu, saya langsung melihatnya dari dekat. Dan, mengambil gambar mereka beraktivitas.

Berada di lapangan terbuka di kelilingi hutan jati, mereka beraktivitas membuat kerangka ketupat, memunculkan rasa yang berbeda.

Sebab, ini kali pertama --setelah lebih kurang tiga dekade tidak pernah menjumpainya-- saya melihat murid-murid mempelajari dan mempraktikkan proses mencipta yang dahulu biasa dilakukan oleh para leluhur.

Mungkin hal yang sama bisa saja ditemukan di sekolah lain. Setidaknya di sekolah-sekolah yang berada di pedesaan. Seperti saya menemukannya ini. Yaitu di SMP Satu Atap, yang berada di ujung selatan Kabupaten Kudus yang sudah berbatasan dengan kabupaten lain.

Saya tidak pernah menemukan aktivitas murid yang seperti ini di sekolah-sekolah perkotaan selama ini. Baru-baru ini (bersamaan dengan momen kupatan) memang ada sekolah yang meminta murid-muridnya membawa ketupat dan lepet ke sekolah.

Kedua makanan itu diulas dalam ceramah guru di hadapan para murid. Ulasannya mengenai kandungan filosofis ketupat dan lepet. Ulasan itu tentu saja bermanfaat bagi para murid. Setidaknya menambah wawasan mereka.

Hanya, saya memandang murid-murid SMP Satu Atap Undaan, Kudus, Jawa Tengah, yang berjumlah lebih kurang 50 murid belajar dan praktik membuat kerangka ketupat jauh lebih bermanfaat.

Sebab, berproses dalam membuat kerangka ketupat mengandung banyak pendidikan nilai-nilai kehidupan.

Pertama, membangun sikap anak menghargai alam. Pemanfaatan janur untuk membuat kerangka ketupat menyadarkan kepada anak mengenai pentingnya merawat pohon kelapa.

Bahkan, guru dapat meluaskan kesadaran anak terhadap betapa penting merawat pohon-pohon yang lain. Sebab, pohon memberi kontribusi bagi manusia, baik untuk sumber makanan maupun sumber kesehatan.

Hal ini penting dikuatkan dalam diri anak sebab anak masa kini kurang familier terhadap alam, termasuk di dalamnya pohon (baca: tanaman). Mereka asing terhadap berbagai jenis tanaman dan manfaatnya.

Akibatnya mereka kurang menghargai keberadaan tanaman meski kita, termasuk mereka, membutuhkan tanaman untuk menjaga kelangsungan hidup.

Kedua, menumbuhkan sikap sabar dalam diri anak. Karena menganyam janur dalam proses membuat kerangka ketupat sering mengulang-ulang. Apalagi jika anak belum memiliki pengetahuan dan keterampilan menganyam. Ia pasti mengulang, mengulang, dan mengulang.

Dan sepertinya kondisi anak-anak masa kini memang jauh dari pengetahuan dan keterampilan menganyam. Maka, proses dalam pembuatan kerangka ketupat dapat menjadi sarana menumbuhkan kesabaran, bahkan tentunya ketelitian dan ketekunan.

Saya masih ingat pengalaman belajar ketika saya masih SD tentang materi kerajinan tangan. Guru mengajari dan mengajak murid membuat anyaman dari daun pisang. Bahannya diambil dari sekitar sekolah.

Dalam praktik menganyam tersebut memang agak jelimet. Tetapi, saya dan sepertinya juga teman-teman bisa menikmatinya. Entah waktu itu guru menyasar terhadap pembentukan sikap sabar, teliti, dan tekun atau hanya sekadar menyasar terhadap murid agar terampil menganyam. Saya tidak mengetahuinya.

Hanya, yang kemudian saya menyadarinya bahwa belajar dan praktik menganyam bermedia daun pisang tersebut dapat membentuk karakter anak. Termasuk ketika murid-murid diajak belajar dan praktik membuat kerajinan tangan dari tanah liat. Juga dapat membentuk karakter.

Karenanya, saya merasa, membuat kerangka ketupat, membuat anyaman dari daun pisang, membuat patung dari tanah liat, dan membuat kerajinan tangan dari bahan lain yang mudah dijumpai di sekitar anak ketika itu, mempraktikkannya bagi murid-murid masa kini masih sangat relevan.

Pun sangat relevan memberlakukan permainan tradisional, misalnya gobak sodor, bentengan, jamuran, cublak-cubkak suweng, dan ular-ularan bagi mereka. Sebab, dipastikan dapat memberi manfaat bagi mereka.

Tidak hanya menjadikan mereka sebagai pribadi yang cekatan, percaya diri, dan pantang menyerah, tetapi juga mendorong mereka menghayati kebersamaan atau kegotongroyongan.

Nilai-nilai kehidupan semacam itu yang kini sedang ditumbuhkembangkan dalam diri anak melalui projek penguatan profil pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka.

Jadi, berbagai aktivitas yang dibilang kekunoan, yang biasa dilakukan oleh generasi terdahulu, sepertinya masih sangat layak untuk diterapkan bagi generasi masa kini. Sebab, yang kekunoan itu rupanya mengandung nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan hingga generasi kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun