Maka, ketika saya melihat aktivitas murid di sekolah tempat teman saya dimutasi itu, saya langsung melihatnya dari dekat. Dan, mengambil gambar mereka beraktivitas.
Berada di lapangan terbuka di kelilingi hutan jati, mereka beraktivitas membuat kerangka ketupat, memunculkan rasa yang berbeda.
Sebab, ini kali pertama --setelah lebih kurang tiga dekade tidak pernah menjumpainya-- saya melihat murid-murid mempelajari dan mempraktikkan proses mencipta yang dahulu biasa dilakukan oleh para leluhur.
Mungkin hal yang sama bisa saja ditemukan di sekolah lain. Setidaknya di sekolah-sekolah yang berada di pedesaan. Seperti saya menemukannya ini. Yaitu di SMP Satu Atap, yang berada di ujung selatan Kabupaten Kudus yang sudah berbatasan dengan kabupaten lain.
Saya tidak pernah menemukan aktivitas murid yang seperti ini di sekolah-sekolah perkotaan selama ini. Baru-baru ini (bersamaan dengan momen kupatan) memang ada sekolah yang meminta murid-muridnya membawa ketupat dan lepet ke sekolah.
Kedua makanan itu diulas dalam ceramah guru di hadapan para murid. Ulasannya mengenai kandungan filosofis ketupat dan lepet. Ulasan itu tentu saja bermanfaat bagi para murid. Setidaknya menambah wawasan mereka.
Hanya, saya memandang murid-murid SMP Satu Atap Undaan, Kudus, Jawa Tengah, yang berjumlah lebih kurang 50 murid belajar dan praktik membuat kerangka ketupat jauh lebih bermanfaat.
Sebab, berproses dalam membuat kerangka ketupat mengandung banyak pendidikan nilai-nilai kehidupan.
Pertama, membangun sikap anak menghargai alam. Pemanfaatan janur untuk membuat kerangka ketupat menyadarkan kepada anak mengenai pentingnya merawat pohon kelapa.
Bahkan, guru dapat meluaskan kesadaran anak terhadap betapa penting merawat pohon-pohon yang lain. Sebab, pohon memberi kontribusi bagi manusia, baik untuk sumber makanan maupun sumber kesehatan.
Hal ini penting dikuatkan dalam diri anak sebab anak masa kini kurang familier terhadap alam, termasuk di dalamnya pohon (baca: tanaman). Mereka asing terhadap berbagai jenis tanaman dan manfaatnya.