Tetapi, karena hanya kelakar, tidaklah menjadi problem baru. Sebab, pada kenyataannya ada teman guru asal desa, tidak bisa memainkannya sampai menimbulkan bunyi seperti bunyi petasan.
Dari semua itu, yang lebih penting sebetulnya adalah ketika muncul sebuah pemikiran bahwa  "permainan" untuk berbuat usil itu sepertinya dapat dikembangkan menjadi karya performa yang menarik.
Maka, saya akhirnya memanggil murid yang memiliki ide  mengenai "permainan" tersebut. Selanjutnya, saya menjelaskan bahwa idenya tersebut dapat dikembangkan, misalnya, menjadi tari kreasi baru.
Atau, apalah namanya, terserah, yang penting ide dasarnya dari permainan yang awalnya untuk tujuan usil itu.
Saya meyakinkan kepadanya bahwa jika "permainan" yang awalnya untuk tujuan usil itu ditata sedemikian rupa dan dibawakan oleh beberapa murid, jadi suguhan yang menarik.
[Dan, saya bersyukur, agaknya murid-murid yang menjadi pencetus  keusilan itu menanggapi secara positif.]
Ada momen yang tepat untuk menampilkannya, yaitu ketika acara perpisahan Kelas IX. Apalagi mereka sendiri murid Kelas IX. Tentu tidak sulit memotivasinya.
Teman-teman guru sangat mendukung. Bahkan, seorang (teman) guru, yang notabene wali kelas dari murid yang berperilaku usil, menyanggupi memfasilitasi.
Tentu kesanggupan tersebut bertujuan agar gagasan untuk mengembangkan ide berhasil. Sehingga, hasil pengembangannya dapat dijadikan salah satu tampilan yang berbeda dari yang lainnya pada acara perpisahan.
Nah, pada akhirnya, ini boleh menjadi kesadaran bagi guru bahwa tidak setiap keusilan murid selalu negatif.
Bukan mustahil ada sisi positif yang bisa dikembangkan menjadi sebuah karya kreatif, sekalipun awalnya mungkin tidak terbayangkan oleh guru.