Murid yang usil, itu selalu ada. Keberadaannya hampir di setiap kelas. Ini yang sering membuat guru merasa jengkel.
Karena, keusilan itu kadang  mengganggu pembelajaran. Murid yang lain bisa merasa kurang nyaman. Konsentrasi belajarnya menjadi tidak fokus.
Selain itu, guru secara tidak terduga akhirnya memiliki dua pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, guru tetap harus menjalankan pengajaran. Di sisi yang lain, guru harus mengendalikan murid yang usil.
Mengendalikan murid yang usil bisa saja langsung diberi teguran dan diberi nasihat. Ia dipastikan berhenti usil. Sekalipun mungkin pada waktu berikutnya, entah selang beberapa menit, usilnya kambuh lagi.
Jika seperti itu yang terjadi, guru menegur dan menasihatinya lagi. Ini tugas guru. Guru memang pantang bersikap bosan. Mengulangi tindakan yang sama dengan maksud baik bagi murid wajib dilakukan.
Tetapi, guru itu manusia. Sehingga, kesabarannya bisa saja berkurang sewaktu-waktu. Malah akhirnya bisa saja hilang. Dan, ini tentu kontra produktif. Baik bagi guru maupun murid.
Gambaran seperti itu yang ada di otak saya ketika tetiba ada seorang teman guru mengatakan bahwa ia baru saja menghadapi seorang murid yang usil di kelas.
Usilnya adalah menciptakan bunyi menyerupai petasan. Ini saat pembelajaran berlangsung di ruang kelas.
Diketahui kemudian bunyi menyerupai petasan itu terbuat dari taplak meja  yang diikat dan dicambukkan ke udara. Seperti orang, tepatnya seorang gembala, mencambukkan cemeti.
Saya kira murid ini terinspirasi oleh petasan yang biasa didengarnya pada masa Ramadan. Yang, kita pun mafhum bahwa petasan memang disukai oleh anak-anak.
Sementara itu, saya kira (juga) taplak yang diikat terinspirasi oleh cemeti yang kadang digunakan oleh pemain kesenian barongan. Yang, memang beberapa murid kami ada yang ikut berkesenian barongan.
Petasan di bulan Ramadan  --saat ini memang bulan Ramadan---dan cemeti merupakan dua konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Yang, kemudian boleh jadi merangsang mereka --entah berapa murid-- untuk memanfaatkan taplak meja. Dan, membentuknya menjadi media untuk memunculkan bunyi menyerupai petasan. Dan, hebatnya, berhasil!
Keusilan itulah yang kemudian membuat teman guru meminta salah seorang murid yang diketahui "memainkan" untuk mencobanya di depan kelas. Sayang, murid ini tidak mau. Mungkin karena ia malu atau takut.
Maka, dibawalah taplak yang digunakan untuk berbuat usil tersebut ke ruang guru. Beberapa guru, termasuk saya, melihatnya. Dan, kami  mendengarkan dengan saksama cerita teman guru mengenai muridnya yang berperilaku usil itu.
Karena ada bagian yang diceritakan menyebut bahwa murid yang bersangkutan tidak mau mempraktikkan "permainannya" di depan kelas, maka kami penasaran.
Seorang teman guru akhirnya mencoba memainkannya. Caranya, cukup dengan mencambukkan taplak yang sudah diikat ke udara. Tetapi sayang, tidak menimbulkan bunyi.
Namun, setelah beberapa kali mencoba, terdengarlah bunyi seperti bunyi cambukan cemeti. Agak menyerupai bunyi petasan yang berukuran kecil.
Saya dan beberapa guru, termasuk beberapa guru wanita, turut mencoba. Ada yang berhasil. Ada juga yang tidak berhasil. Pada titik inilah muncul kelakar di antara kami.
Begini, teman-teman guru yang berlatar belakang dari desa pasti bisa sebab rerata pada masa kecilnya menjadi penggembala. Dan, penggembala identik dengan cemeti.
Sementara itu, teman-teman guru yang berlatar belakang dari kota dipastikan tidak bisa. Bagaimana mungkin bisa kalau menjadi penggembala saja tidak pernah.
Tetapi, karena hanya kelakar, tidaklah menjadi problem baru. Sebab, pada kenyataannya ada teman guru asal desa, tidak bisa memainkannya sampai menimbulkan bunyi seperti bunyi petasan.
Dari semua itu, yang lebih penting sebetulnya adalah ketika muncul sebuah pemikiran bahwa  "permainan" untuk berbuat usil itu sepertinya dapat dikembangkan menjadi karya performa yang menarik.
Maka, saya akhirnya memanggil murid yang memiliki ide  mengenai "permainan" tersebut. Selanjutnya, saya menjelaskan bahwa idenya tersebut dapat dikembangkan, misalnya, menjadi tari kreasi baru.
Atau, apalah namanya, terserah, yang penting ide dasarnya dari permainan yang awalnya untuk tujuan usil itu.
Saya meyakinkan kepadanya bahwa jika "permainan" yang awalnya untuk tujuan usil itu ditata sedemikian rupa dan dibawakan oleh beberapa murid, jadi suguhan yang menarik.
[Dan, saya bersyukur, agaknya murid-murid yang menjadi pencetus  keusilan itu menanggapi secara positif.]
Ada momen yang tepat untuk menampilkannya, yaitu ketika acara perpisahan Kelas IX. Apalagi mereka sendiri murid Kelas IX. Tentu tidak sulit memotivasinya.
Teman-teman guru sangat mendukung. Bahkan, seorang (teman) guru, yang notabene wali kelas dari murid yang berperilaku usil, menyanggupi memfasilitasi.
Tentu kesanggupan tersebut bertujuan agar gagasan untuk mengembangkan ide berhasil. Sehingga, hasil pengembangannya dapat dijadikan salah satu tampilan yang berbeda dari yang lainnya pada acara perpisahan.
Nah, pada akhirnya, ini boleh menjadi kesadaran bagi guru bahwa tidak setiap keusilan murid selalu negatif.
Bukan mustahil ada sisi positif yang bisa dikembangkan menjadi sebuah karya kreatif, sekalipun awalnya mungkin tidak terbayangkan oleh guru.
Saya baru saja mempraktikkan hal seperti itu pada Sabtu (15/4/2023). Keusilan murid di kelas ternyata bisa untuk energizer saat pembelajaran.
Begini ceritanya. Saat diskusi kelompok, tetiba ada seorang murid yang usil. Yaitu, meniup-niupkan udara dari mulutnya hingga bibirnya bergetar, yang menimbulkan bunyi "ber-ber-ber".
Ini lucu. Tetapi, Â mengganggu murid lain yang sedang berdiskusi. Maka, saya berinisiatif mengubah keusilan itu menjadi sesuatu yang membikin suasana kelas kembali segar.
Dua murid (ternyata) yang melakukannya. Mereka berada dalam satu kelompok. Maka, dua murid ini yang kemudian saya minta maju di depan kelas.
Saya memintanya untuk mempraktikkan yang baru saja mereka lakukan, yaitu meniup-niupkan udara dari mulut sampai keluar bunyi "ber-ber-ber". Awalnya, mereka malu-malu.
Ini sikap yang biasa. Artinya, bisa dialami oleh siapa pun. Tetapi, karena sejak awal tidak bermaksud mempermalukannya, saya membersamainya dengan ucapan-ucapan yang memotivasi.
Akhirnya, kedua murid tersebut  mau mempraktikkan "keusilannya". Teman-temannya tertawa karena lucu. Mereka pun turut tersenyum-senyum sehingga praktiknya terganggu. Tetapi, praktik tetap diteruskan.
Ketika saya dan teman-temannya memintanya untuk menyanyikan lagu Pelangi(-pelangi) (lagu anak Indonesia) dengan bunyi "ber-ber-ber" hasil tiupan di mulut itu, mereka melakukannya.
Hasilnya? saya dan teman-temannya memberi aplaus dan ucapan pujian. Karena, performa mereka ternyata membuat seisi ruang kelas tertawa gembira.
Ya, ikhtiar ini akhirnya dapat menggiatkan kembali murid-murid terlibat dalam berdiskusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H