Saya orang yang berbeda iman. Tetapi, setiap hari, saya lebih banyak berhubungan dengan saudara-saudara yang setiap bulan Ramadan seperti kali ini menjalani ibadah puasa.
Di sekolah tempat saya mengajar, sebagian besar guru, karyawan, dan murid, selain menjalani ibadah puasa, juga menjalani tadarusan --selama Ramadan ini-- setiap pagi sebelum pembelajaran.
Karena tadarusan dipandu dari ruang khusus oleh guru yang diberi tugas, murid di kelas masing-masing menyimak lewat pengeras suara dan sekaligus tadarusan dengan mengikuti suara (baca: bacaan) pemandu.
Dalam proses itu di setiap ruang kelas ada guru yang mendampingi. Guru yang mendampingi adalah guru yang mengajar pada jam pertama. Saya, sekalipun berbeda iman, jika mengajar pada jam pertama, harus mendampingi murid di ruang kelas.
Maka, saat seperti ini, saya mencoba memaknai Ramadan dari perspektif saya. Bisakah? Bisa. Sebab, saya memaknai Ramadan hanya mengaitkannya dengan kegiatan tadarusan murid-murid di ruang kelas.
Saya akhirnya mengetahui  dari salah satu teman guru yang mengumumkan kepada murid-murid bahwa orang, termasuk murid-murid, yang bertadarus harus membawa Al-Qur'an.
Inti pengumuman itu adalah mewajibkan murid-murid membawa Al-Qur'an ke sekolah untuk tadarusan.
Sesuai dengan pembagian tugas mengajar, saya mengajar di empat kelas. Dua kelas di Kelas VII; dua kelas di Kelas IX. Dan, kebetulan di dalam jadwal mengajar, di empat kelas itu saya mengajar juga pada jam pertama.
Dengan begitu, saya sudah mendampingi murid bertadarus di keempat kelas tersebut. Jadi, saya mengetahui persis kejadian saat tadarusan berlangsung.
Satu catatan penting adalah ternyata tidak semua murid membawa Al-Qur'an. Itu terjadi di keempat kelas. Artinya, ada murid yang membawa, ada juga yang tidak.
Saya kira, hal demikian wajar saja. Seperti juga ketika mereka mengikuti pembelajaran. Kadang ada anak yang tidak membawa buku. Bisa satu anak. Bisa beberapa anak.
Ini fenomena biasa di sekolah. Faktornya bisa karena lupa; bisa juga karena sengaja tidak membawa.
Nah, kembali ke perihal tadarusan. Sekalipun ada murid yang tidak membawa Al-Qur'an pada suatu hari, tadarusan tetap berjalan di kelas yang saya dampingi. Murid yang membawa Al-Qur'an bertadarus memanfaatkan Al-Qur'annya. Â
Tetapi, murid yang tidak membawa Al-Qur'an hanya memandang ke depan sembari mulutnya bergerak-gerak berusaha mengikuti tadarusan.
Melihat kenyataan itu, saya segera berpikir --karena saya tidak ikut tadarusan--- nasihat apa yang nanti harus saya berikan kepada murid yang tidak membawa Al-Qur'an.
Puji Tuhan, saya akhirnya memperoleh bahan untuk memberikan nasihat. Yaitu, meminta mereka pada hari berikutnya membawa Al-Qur'an. Dasar pemikirannya adalah, pertama, murid yang lain membawa seharusnya mereka juga bisa membawa.
Kedua, yang namanya membaca sudah semestinya ada bahan yang dibaca. Satu-satunya bahan untuk tadarusan adalah Al-Qur'an. Karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud tadarusan adalah bertadarus.
Bertadarus adalah melakukan tadarus. Sementara itu, yang dimaksud tadarus adalah pembacaan Al-Qur'an secara bersama-sama (dalam bulan puasa).
Kesadaran saya menasihati murid (yang tidak membawa) untuk membawa Al-Qur'an saat kegiatan tadarus di sekolah merupakan kesadaran saya memaknai Ramadan. Pemaknaan ini agaknya sangat sederhana.
Tetapi, saya kira memiliki efek yang bermakna. Â Sebab, akhirnya pada hari-hari berikutnya murid-murid saya yang beragama Islam dapat melakukan tadarus seperti yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, memunculkan suasana yang khusyuk saat murid-murid menatap ke Al-Qur'an dalam tadarusan di ruang kelas. Terasa suasana yang teduh dan nyaman. Yang, dapat menenteramkan jiwa.
[Sekalipun satu-dua murid masih ada yang tidak membuka Al-Qur'an karena tidak membawa. Begitulah murid, yang masih anak-anak.]
Sekalipun begitu, saya dapat merasakan suasana yang dirasakan oleh  murid-murid saya saat tadarusan. Hati tenang, bersyukur, dan ini yang paling utama, yaitu pikiran merendah dan menyerah kepada Allah.
Itu yang dalam pengertian saya juga bagian dari  memaknai Ramadan. Dalam Ramadan,  siapa pun, termasuk guru di sekolah, dapat memotivasi dan memersuasi murid-murid.
Agar, lebih dekat terhadap Sang Khalik dan sesamanya melalui berbagai aktivitas, termasuk tadarusan.
Pemaknaan Ramadan yang sangat sederhana ini kiranya tidak mengotori bulan Ramadan yang suci, momen untuk introspeksi diri, dan berbuat terpuji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H