Saya kira, hal demikian wajar saja. Seperti juga ketika mereka mengikuti pembelajaran. Kadang ada anak yang tidak membawa buku. Bisa satu anak. Bisa beberapa anak.
Ini fenomena biasa di sekolah. Faktornya bisa karena lupa; bisa juga karena sengaja tidak membawa.
Nah, kembali ke perihal tadarusan. Sekalipun ada murid yang tidak membawa Al-Qur'an pada suatu hari, tadarusan tetap berjalan di kelas yang saya dampingi. Murid yang membawa Al-Qur'an bertadarus memanfaatkan Al-Qur'annya. Â
Tetapi, murid yang tidak membawa Al-Qur'an hanya memandang ke depan sembari mulutnya bergerak-gerak berusaha mengikuti tadarusan.
Melihat kenyataan itu, saya segera berpikir --karena saya tidak ikut tadarusan--- nasihat apa yang nanti harus saya berikan kepada murid yang tidak membawa Al-Qur'an.
Puji Tuhan, saya akhirnya memperoleh bahan untuk memberikan nasihat. Yaitu, meminta mereka pada hari berikutnya membawa Al-Qur'an. Dasar pemikirannya adalah, pertama, murid yang lain membawa seharusnya mereka juga bisa membawa.
Kedua, yang namanya membaca sudah semestinya ada bahan yang dibaca. Satu-satunya bahan untuk tadarusan adalah Al-Qur'an. Karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud tadarusan adalah bertadarus.
Bertadarus adalah melakukan tadarus. Sementara itu, yang dimaksud tadarus adalah pembacaan Al-Qur'an secara bersama-sama (dalam bulan puasa).
Kesadaran saya menasihati murid (yang tidak membawa) untuk membawa Al-Qur'an saat kegiatan tadarus di sekolah merupakan kesadaran saya memaknai Ramadan. Pemaknaan ini agaknya sangat sederhana.
Tetapi, saya kira memiliki efek yang bermakna. Â Sebab, akhirnya pada hari-hari berikutnya murid-murid saya yang beragama Islam dapat melakukan tadarus seperti yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, memunculkan suasana yang khusyuk saat murid-murid menatap ke Al-Qur'an dalam tadarusan di ruang kelas. Terasa suasana yang teduh dan nyaman. Yang, dapat menenteramkan jiwa.