Dengan begitu, selalu diikuti dampak positif, yaitu ketua kelas atau pengurus (kelas) yang lainnya akan tetap mendapat simpati dari warga kelas. Lebih daripada itu, mereka mendapat dukungan penuh.
Hanya, kalau dalam realitasnya ternyata masih dijumpai kasus seperti di atas, maka dapat diduga bahwa kelangsungan pengelolaan  pendidikan di sekolah selama ini belum sepenuhnya memihak siswa putri seperti halnya terhadap siswa putra.
Hal itu semakin diperkuat dengan ketika kami, kesiswaan, melakukan pemilihan ketua organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Langkah awal, kesiswaan mengadakan observasi terhadap beberapa siswa yang dipandang tepat menduduki calon ketua OSIS.
Sepuluh siswa terseleksi di tahap observasi. Langkah berikutnya, debat kelompok. Seleksi di tahap debat ini menyisakan enam siswa. Enam siswa, lima putri dan satu putra, ini yang kelak menjadi pengurus inti OSIS.
Selanjutnya, untuk memilih tiga calon ketua OSIS dari enam tersebut, kesiswaan melakukan wawancara dan akhirnya didapatkan dua putri dan satu putra.
Jika diperingkat, dua putri menduduki peringkat pertama dan kedua. Satu putra menduduki peringkat ketiga.
Tiga calon ketua OSIS tersebut yang dibawa ke tahap pemilihan langsung sebelum terlebih dahulu mereka menyampaikan visi dan misi pada saat upacara bendera di hadapan semua siswa, guru, dan karyawan.
Pemilihan langsung ketua OSIS diikuti oleh semua siswa, guru, dan karyawan sebagai pemilih. Mereka memiliki hak suara.
Prosesnya dilakukan seperti pemilihan umum (pemilu) sebenarnya. Hasil terakhir yang terbanyak dipilih melalui surat suara adalah siswa putra. Padahal, ia hanya peringkat ketiga dari hasil wawancara.
Dan juga jumlah siswa putri lebih banyak daripada putra. Jumlah guru dan karyawan wanita pun lebih banyak ketimbang guru dan karyawan laki-laki. Jelasnya, jumlah pemilih berjenis kelamin putri lebih banyak daripada putra.
Namun toh demikian, yang terpilih menjadi ketua OSIS siswa putra, bukan siswa putri. Yang, secara hitung-hitungan siswa putri lebih unggul.